Perempuan Papua

Perempuan Papua

Rabu, 05 Maret 2014

Kekerasan Terhadap Perempuan di Kabupaten Manokwari

Juli 2013,  saya pergi ke Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat  untuk mendapatkan data tentang kondisi kekerasan terhadap perempuan dan anak di kabupaten Manokwari.  Saya pergi ke sana sebab dinas inilah yang paling banyak menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dan memiliki sistem pencatatan yang cukup lengkap.  Saya mencoba merangkum data-data tersebut dalam sebuah tulisan tentang bagaimana situasi kekerasan terhadap perempuan di Kapubaten Manokwari.
Data kekerasan yang ditampilkan adalah tindak kekerasan yang dilaporkan dan tercatat pada tahun 2011 dan 2012.  Saya yakin kasus kekerasan yang tidak dilaporkan pasti lebih banyak dibandingkan yang dicatat atau dilaporkan.  Ada banyak faktor  yang menyebabkan mengapa kasus-kasus kekerasan tidak diangkat  ke permukaan dan diselesaikan melalui suatu lembaga yang berkompoten. Faktor-faktor tersebut antara lain;  intimidasi dari suami dan keluarganya terkait adanya persepsi budaya  yang menganggap aib jika masalah rumah tangga dibawah keluar ke ranah publik atau lebih menjaga nama baik rumah tangga dan suaminya, ketergantungan ekonomi pada suami atau laki-laki dan rasa ketakutan terhadap laki-laki terkait pemikiran  laki-laki sebagai makluk superior dan perempuan sebagai makluk inferior, kurang sosialisasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga,  pengetahuan yang rendah tentang cara advokasi korban kekerasan, hambatan lingkungan geografis, ketersediaan sarana prasarana, dll.
Tingkat Kekerasan Terhadap Perempuan
Jumlah korban kekerasan pada tahun 2011 sebanyak   21 orang meningkat menjadi 28 orang di tahun 2012. Demikian juga jumlah pelaku kekerasan sebanyak 22 orang  meningkat menjadi 32 orang pada tahun 2012. Sebagian besar korban kekerasan adalah perempuan sedangkan pelaku kekerasan adalah laki-laki.  Laki-laki sebagai pelaku kekerasan berkaitan dengan sifat agresivitas laki-laki  serta pemahaman yang keliru terhadap perempuan sebagai makluk inferior dan laki-laki sebagai mahluk superior sehingga  boleh menguasai perempuan dan memperlakukan perempuan semaunya. 
Bentuk kekerasan yang umumnya terjadi pada perempuan adalah  kekerasan  fisik  dan psikis. Perempuan sering menjadi objek kekerasan yang dilakukan laki-laki karena faktor emosi atau sifat sang pria yang temperamental.  Menurut  ahli psikologi  Kasandra Putranto (2008) "seseorang melakukan kekerasan karena adanya sebuah distribusi kekuatan yang tak seimbang,  misalnya yang laki-laki kuat perempuan lemah".
Data  menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan lebih besar dari jumlah pelakunya. Artinya setiap pelaku melakukan bentuk tindak kekerasan berlapis.  Dengan demikian perempuan mendapat lebih dari satu bentuk kekerasan, atau   laki-laki tidak hanya melakukan kekerasan fisik atau psikis semata namun ada indikasi laki-laki melakukan  lebih dari satu bentuk kekerasan secara bersama-sama terhadap perempuan.  Kekerasan ini merujuk pada tingkah laku yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor internal pelaku (sifat, motif, intensi)  dan  oleh faktor eksternal (aspek fisik dan sosial budaya) pelaku  dan bisa dipengaruhi oleh  kombinasi dari keduanya.
Karekteristik Korban Kekerasan
Sebagian besar perempuan korban kekerasan berumur lebih dari 18 tahun atau dalam kategori kelompok umur dewasa dan diikuti oleh umur 12 – 18 tahun  dan umur kurang dari 12  tahun.  Kekerasan yang terjadi pada anak perempuan  berumur kurang dari 18 tahun pada umumnya adalah kekerasan seksual.  Apabila anak  perempuan mendapat kekerasan seksual maka akan diikuti dengan kekerasan psikis yang sangat mengganggu perkembangan mentalnya.   Kekerasan seksual yang terjadi pada seorang perempuan dikarenakan sistem tata nilai yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki; perempuan masih ditempatkan dalam posisi subordinasi dan marginalisasi yang harus dikuasai, dieksploitasi dan diperbudak laki-laki dan juga karena perempuan masih dipandang sebagai second class citizens.   Selain itu mengutip E. Kristi Poerwandari (2000), perkosaan adalah tindakan pseudo-sexual, dalam arti merupakan perilaku seksual yang tidak selalu dimotivasi dorongan seksual sebagai motivasi primer, melainkan berhubungan dengan penguasaan dan dominasi, agresi dan perendahan pada satu pihak (perempuan) oleh pihak lainnya (laki-laki) misalnya dari segi usia yang masih kecil dan perempuan yang lemah.
Kekerasan bisa menimpa siapa saja tak mengenal tingkat pendidikan. Perempuan korban kekerasan memiliki tingkat pendidikan yang menyebar bervariasi mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi.  Korban yang berpendidikan SMA dan Perguruan Tinggi pada umumnya mengalami kekerasan fisik, psikis dan ekonomi sedangkan sebagian besar korban yang berpendidikan SD dan SMP adalah korban kekerasan seksual berupa pemerkosaan dan percabulan.  Hal ini menunjukan bahwa tinggi rendahnya pendidikan tidak menuntukan tinggi rendahnya seseorang menjadi korban kekerasan.
Sebagian besar korban kekerasan dialami oleh perempuan yang tidak bekerja.  Hal ini menunjukkan bahwa perempuan yang  tidak bekerja  lebih berpeluang mendapat tindak kekerasan dibandingkan perempuan yang bekerja.   Penyebab kekerasan  dalam rumah tangga diduga  karena perempuan tidak memiliki pekerjaan, sehingga tidak dihargai oleh suami,  selain itu karena ketergantungan ekonomi pada laki-laki sehingga suami merasa bisa menguasai, memerintah  dan mengatur kehidupan  istrinya.  Data lain juga menunjukan perempuan yang bekerja juga mendapat kekerasan dari laki-laki.  Hal ini lebih banyak disebabkan faktor kecemburuan laki-laki terhadap perempuan dan didukung oleh  sifat laki-laki yang cenderung agresif.
Hasil penelitian Purwaningsih (2008)  juga menunjukkan perempuan yang mengalami korban kekerasan dalam rumah tangga umumnya disebabkan  kurangnya komunikasi antara suami dan istri, tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga, kesalahan istri, ketidakmampuan suami secara ekonomi, adanya perselingkuhan yang dilakukan suami, pengaruh minuman keras dan akibat adanya kawin paksa dari pihak keluarga.
 Data menunjukan bahwa sebagian besar korban kekerasan memiliki hubungan keluarga dengan pelaku,  yaitu sebagai  keluarga korban kekerasan menempati urutan pertama,   disusul dengan pelaku sebagai pihak yang lainnya dan diikuti dengan pelaku sebagai orang tua korban.  Kekerasan yang terjadi berdasarkan hubungan korban dengan pelaku berkaitan dengan urusan dalam rumah tangga yang menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga.  Sedangkan hubungan korban dengan lainnya dan dengan orang tuanya memiliki bentuk kekerasan seksual dan terjadi pada anak perempuan.   

Tidak ada komentar: