Perempuan Papua

Perempuan Papua

Kamis, 02 Oktober 2014

Program penanggulangan HIV dan AIDS belum sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik

Saya merasa beruntung dapat mengikuti Forum Nasional ke V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia yang diselenggarakan oleh Universitas Padjadjaran selama 2 hari pada tanggal 24 dan 25 September 2014 di Trans Luxury Hotel Bandung.  Fornas ini  diikuti oleh 7 kelompok kerja kebijakan kesehatan. Salah satu di antanya adalah Kelompok Kerja Kebijakan HIV dan AIDS dimana saya menjadi salah satu pesertanya.  Kelompok kerja kebijakan HIV dan AIDS ini dihadiri oleh para pemangku kepentingan seperti pelaku, perumus, peneliti, pemerhati dan akademisi di bidang kebijakan HIV dan AIDS.   Salah satu tujuan pertemuan ini adalah menyajikan hasil penelitian terkait dengan upaya penanggulangan AIDS dan sistem kesehatan dengan issue  penting yang dibahas adalah Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS. Ada 7 makalah yang di presentasikan terkait  membahas Tata kelola program penanggulangan HIV dan AIDS yang baik.
Melalui seminar ini telah menunjukkan bahwa sejauh ini, tata kelola program penanggulangan HIV dan AIDS belum sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Misalnya prinsip transparansi, kesetaraan dan pengawasan, efisiensi dan efektifitas serta penegakan hukum. Hasil riset Asa Simplexius menunjukkan lemahnya sosialisasi Perda tentang HIV dan AIDS menjadi penyebab ketidak-efektifan suatu perda HIV dan AIDS. Masyarakat seharusnya dilibatkan dalam sosialisasi pra legislasi yaitu sejak suatu PERDA dirancang, sosialisasi legislasi atau pasca legislasi yaitu sosialisasi content dan stucture materi, serta sosialisasi kontinuum/ reguler dimana sosialisasi secara kontinyu dan berlanjut sampai pada efek culture of low yaitu menghasilkan perilaku baru yang membudaya sehingga menciptakan  ketaatan  yang sukarela dan kontiunum terhadap suatu perda. Susanthi Esthi juga mempertegaskan bahwa program penanggulangan HIV dan AIDS pada populasi kunci lebih bersifat temporal/ proyek sehingga yang dicapai hanya perubahan pengetahuan tanpa mengejar perubahan perilaku. Akibatnya menciptakan suatu kondisi ketergantungan terhadap program atau menghasilkan efek sesaat dalam merespon suatu program penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh karena itu sosialisasi pencegahan HIV dan AIDS seharusnya dimulai pada usia dini atau sekolah dengan tujuan membentuk mental dan karakter serta perilaku aman untuk dapat melindungi diri dari HIV dan AIDS.  Hasil riset Sewdas Ranu, dkk, menyatakan bahwa keterlibatan  peran publik begitu penting dalam mendukung  penanggulangan HIV dan AIDS. Selama ini publik kurang dilibatkan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS khususnya dalam sistem perencanaan daerah, misalnya LSM, akademisi, konsultan dan organisasi profesional  tidak dilibatkan dalam Musrembang sehingga perencanaan kurang berbasis data dan fakta.  
Riset yang dilakukan Siregar Y.M. Adiatma menunjukkan prinsip tata kelola efiensi dan efektifitas perlu diperhatikan dalam penganggulangan HIV dan AIDS dengan memberikan sosialisasi yang kuat kepada ODHA dan  penyelenggara penanggulangan HIV dan AIDS. Menurutnya sebelum pemberian ART, biaya pengobatan ODHA didominasi oleh biaya  tes laboratorium (>65%), dan setelah inisiasi ART, oleh obat antiretroviral (≥60%). Biaya rata-rata per pasien menurun seiring dengan berjalannya perawatan. Tingkat CD4 Cell counts yang lebih tinggi saat dimulainya perawatan diasosiasikan dengan biaya tes laboratorium dan perawatan infkesi oportunistik yang lebih rendah. Biaya transportasi mendominasi biaya pasien dalam mengakses layanan HIV (>40%).  Hal ini berarti dengan mengkonsumsi ATR, seorang ODHA akan mampu menekan biaya infeksi oportunistik dan biaya pasiens dalam mendapatkan layanan dan hanya mengeluarkan biaya transportasi. Untuk itu, akses terhadap ART harus lebih dekat dengan masyarakat sehingga dapat menekan biaya transportasi.  Kurniawan Rachmadi menyakatan bahwa  Peran ARV sekarang ini sangat penting, terbukti bermanfaat. Namun tidak semua ‘gold standart’ sebuah pedoman pengobatan dapat lansung diterapkan. Menurutnya efek samping sebuah kebijakan dapat terjadi. Oleh karena itu perlu kehati-hatian dalam menyusun dan menerapkan kebijakan obat ARV dan perlu komunikasi yang transparansi  yang baik tentang efeksamping suatu kebijakan  antar stakeholder. 
Riset Riziyani Shanti, dkk menyoroti posisi KPAD yang dianalogikan sebagai anak tiri. Walaupun ketua KPA provinsi adalah gubernur, namun KPA Provinsi bukanlah bagian dari struktur organisasi pemerintah daerah. Sebagai Anak tiri, KPA provinsi merasa sulit ketika harus mengkoordinir SKPD yang merupakan bagian dari organisasi pemerintah daerah (dianalogikan sebagai anak kandung) untuk penanggulangan AIDS di daerah.  Penelitian ini menunjukkan bahwa posisi KPAD masih problematis dan penanggulangan AIDS di daerah masih sangat bergantung pada peran pimpinan tiap SKPD yang menjadi anggota KPA. Dengan demikian Penguatan posisi KPA perlu dilakukan untuk lebih mendukung tata kelola penanggulangan AIDS yang efektif.
Hasi Riset Okta Siradj tahun 2013 telah menyeroti pelaksanaan  prinsip tata kelola penganggulangan HIV dan AIDS tentang Penegakan hukum. Secara global, eksistensi Kriminalisasi penularan HIV diakui memberi disinsentif pada strategi penanggulangan AIDS.  Faktanya, studi terhadap 18 Undang-Undang dan 4 Peraturan Daerah menunjukkan adanya kriminalisasi terkait penularan HIV di Indonesia, disamping adanya pasal penganiayaan dalam kitab undang-undang hukum pidana yang representatif terhadap penularan HIV. Sebagai hukum positif, kriminalisasi memiki keniscayaan konsekuensi pembuktian. Tanpa forensik HIV, pengadilan tidak dapat membuktikan bahwa penularan terjadi dari terdakwa kepada korban. Namun, forensik HIV seperti pemanfaatan phylogenetic analysis memerlukan standar yang ekstensif agar memiliki kualifikasi pembuktian di pengadilan.  Pemangku kepentingan kebijakan AIDS nasional perlu mempertimbangkan inklusi forensik HIV dalam regulasi dan anggaran dalam mengantisipasi penerapan pasal pidana atas penularan HIV. Penguatan kelembagaan eksekutif di tingkat penyidikan maupun yudiktif di tingkat pengadilan terkait forensik HIV perlu dilakukan secara nasional. Lembaga yudikatif melalui hakim pidana dengan sistem pembuktian negatif perlu dikawal oleh masyarakat sipil. Pemantauan keberhasilan forensik HIV merupakan modal advokasi dekriminalisasi dalam kebijakan penanggulangan AIDS nasional.
Penerapan prinsip tata kelola penanggulangan HIV dan AIDS yang baik akan menjamin  keberhasilan penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat daerah dan nasional. Namun berdasarkan seminar ini telah menjawab berbagai persoalan yang dihadapi dalam pelaksanaan tata kelola penanggulangan HIV dan AIDS yang baik. Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota implementasi prinsip ini pada kenyataannya masih bervariasi. Tata kelola program penanggulangan HIV dan AIDS belum sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Berbagai upaya  dan peran kepemimpinan nasional, sektor, daerah, lembaga, kelompok-kelompok masyarakat baik di tingkat pembuat kebijakan sampai ke tingkat pelaksana masih sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya prinsip tata kelola upaya penanggulangan HIV dan AIDS pada semua tingkatan.