Perempuan Papua

Perempuan Papua

Jumat, 28 Februari 2014

Menambang pasir di sekitar kawasan konservasi demi mencari sesuap nasi

Mei 2012,  Saya tiba di Kota Teminabuan Kabupaten Sorong Selatan. Menempuh perjalanan kurang lebih 45 menit,  saya tiba di kawasan hutan Bariat  yang ditutupi pohon damar (Agathis dammara)  begitu tersusun rapih. 
Saya berjalan perlahan dan terus memasuki kawasan hutan ini.  Saya begitu terkaget  melihat  pemandangan puluhan batangan pohon damar berjatuhan di atas pasir/ tanah. Ternyata  telah terdapat aktivitas penambangan pasir di Kawasan Hutan Konservasi ini
Saya bertanya kepada beberapa masyarakat yang menambang pasir di sana. Apakah bpk/ibu tahu bahwa kawasan ini adalah  kawasan konservasi?  Mereka menjawab, kami tahu, kami tahu bahwa menambang di sini dilarang, kami tahu bahwa menebang pohon itu dilarang, tetapi kami mau memperoleh uang dari mana?  Kami butuh makan dan minum, kami butuh uang untuk anak-anak kami yang bersekolah dan kuliah.  Hasil jualan sagu (pekerjaan sebelumnya) tidak sama seperti hasil kami menambang pasir di kawasan hutan ini. 
Saya bertanya lagi, apakah bpk/ibu bersedia untuk tidak menambang di kawasan ini? Mereka menjawab,  kami bersedia, kami juga tidak mau hutan adat kami rusak,  tetapi apakah pemerintah bisa memberi kami pekerjaan yang lain  dengan pendapatan yang sama seperti kami menambang pasir di sini?
Ternyata  aktivitas menambang pasir  merupakan sumber penerimaan tunai ratusan kepala keluarga masyarakat pribumi di sini. Ratusan pohon Damar hilang/rebah dengan sendirinya.  Pemerintah harus bisa menjamin sumber penghasilan lain sebagai kompensasi masyarakat  tidak lagi menambang di areal ini.  Andai masyarakat ini sejahtera, mungkin hutan tidak akan dihancurkan kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan fisiologis semata.

Kamis, 27 Februari 2014

Kekurangan air bersih di kampung terkena dampak langsung perusahaan. Dimana tanggungjawab sosial perusahaan?

Juni 2011, saya tiba di salah satu distrik di Kabupaten Teluk Bintuni.  Terlihat  keceriaan anak-anak adat di Distrik Weriagar yang sedang bermain  dan mandi di dalam air keruh dan kotor.   Beginilah lingkungannya,  masyarakat tidak pernah merasakan air bersih, jernih dan sehat.   Masyarakat terpaksa harus mengkonsumsi air keruh dan kotor untuk mandi, mencuci serta hanya  mengharapkan air hujan untuk diminum.  Saya pun terpaksa harus ikutan mandi dan mencuci di air tersebut selama sebulan lamanya. Tidak mengherankan jika kampung tersebut (kampung Weriagar dan Mogotira) sering terkena wabah demam berdarah, malaria dan diare. 
Padahal wilayah adat mereka termasuk dalam daerah terkena dampak langsung perusahaan BP Tangguh, namun kurang mendapat perhatian terkait air bersih yang sering mereka suarakan kepada perusahaan, sebagai bentuk kompensasi wilayah adat yang digunakan serta sebagai bentuk tanggungjawab sosial perusahaan   kepada masyarakat. 
Satu harapanku semoga perusahaan bisa melihat hal ini. Bukankah menggantungkan semata-mata kesehatan finansial tidak menjamin perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan? Keberlanjutan perusahaan akan terjamin apabila perusahaan juga memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan. Fakta telah menunjukkan bagaimana resistensi masyarakat sekitar muncul di permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan faktor tanggung jawab sosial.

Pembangunan Infrastruktur sekolah di pedalaman yang tidak dibarengi dengan pembangunan SDM menjadikan sistem pendidikan di Papua Cacat!


Para murid sedang belajar (foto: Afia Tahoba)
Masa depan pembangunan di Papua ada di tangan anak-anak usia sekolah ini. karena mereka adalah  generasi penerus pembangunan.  11 November, 2012,   saya melakukan kunjungan ke distrik Miyah Kabupaten Tambrauw.   Untuk mencapai Distrik Miyah, saya menggunakan sebuah mobil ranger. Perjalanan ini dimulai dari Kabupaten Manokwari melewati Distrik  Warmare, Prafi,  Masni, Sidey,  Mubrani, Kebar, Senopi,  dan akhirnya  kami pun tiba di Distrik Miyah. Perjalanan itu memakan waktu 6 jam, yaitu   dari pukul  9 pagi  sampai pukul 3 sore WIT. 
Pemandangan alam  yang indah dan mengesankan tersaji di depan mata ketika saya menempuh  perjalanan itu. Saya melewati  padang rumput hijau  yang luas, melewati sungai-sungai, kemudian menaiki bukit demi bukit, gunung demi gunung dan akhirnya saya menemukan sebuah pemandangan pegunungan yang berwarna biru, itulah view pegunungan  Tambrauw dari kejauhan.  Dalam hatiku berkata: "pasti Distrik Miyah sudah dekat." Ternyata, saya harus menempuh perjalanan  kl. 1,5 jam lagi, baru  kemudian saya tiba di sebuah sungai yang bernama sungai Kamundan.  Untuk mencapai ibu kota distrik, saya harus menyeberangi sungai itu. Namun sore itu hujan cukup deras sehingga sungai itu pun banjir. Saya tak bisa melewati sungai karena kencangnya arus sungai. Saya pun memutuskan untuk bermalam di pinggiran sungai itu. 

Melawan Arus Sungai Kamundan di Distrik Miyah
Cuaca pagi itu (12/11) begitu cerah, arus air sungai mulai berkurang, tidak seperti kemarin sore.  Saya pun memutuskan untuk menyeberangi sungai itu menggunakan perahu.  Ternyata hanya tersedia satu perahu umum yang menjadi alat transportasi masyarakat, jika ingin ke kota Manokwari atau ke beberapa distrik yg semula kami lewati. Saat saya tiba di sungai itu jembatan yang dibangun oleh pemerintah belum selesai sehingga jalan satu-satunya yang harus dilewati adalah melewati sungai tersebut.  
Arus sungai itu sangat deras sehingga  saya harus menaiki perahu yang diikat pada sebuah tali, sambil memegang dan menarik  tali itu ke arah seberang sungai yg menjadi tujuan saya.  Tali tersebut diikat pada sebuah pohon yang berada di kedua tepi sungai itu. Rasa gugup menghantui saya, "bagaimana jika tali ini terlepas atau putus?" Saya melihat ke arah arus sungai itu sambil berujar: "oh Tuhan ternyata banyak batu-batu kerikil berukuran besar dan tajam".  Nyawa harus kami pertaruhkan agar dapat  melewati   sungai itu.  Ternyata sungai itu sudah pernah menelan beberapa korban jiwa  terutama dalam keadaan banjir.      
Setelah  sampai di seberang sungai, saya pun mencari kantor distrik. Saya melewati beberapa rumah-rumah masyarakat berukuran kecil dan sebuah gereja kecil (stasi).   Namun ada dua bangunan yang cukup megah dibangun sehingga tampak jelas kesenjangannya dengan rumah masyarakat dan  gereja itu.  Bangunan itu adalah kantor distrik dan SD Negeri Miyah. Sungguh, saya bangga  dan memberikan apresiasi kepada pemerintah daerah Tambrauw  yang telah membangun dua gedung  itu di daerah yg masih terisolir ini. 
Hati saya pun ingin melihat dari dekat (di dalam ruangan kelas) bagaimana proses belajar mengajar yang terjadi  di sekolah itu. Anak-anak sekolah berlarian menghampiri kami. Ada yang menggunakan seragam sekolah, ada juga yang tidak menggunakan seragam sekolah. Semua anak-anak itu  tidak menggunakan sepatu seperti selayaknya anak-anak yang bersekolah.  Saya bertanya kepada mereka: kenapa kalian tidak belajar? Mereka menjawab: "kami tidak ada guru."  Saya bertanya lagi: "siapa yang mengajari kalian?" Mereka menunjuk seorang laki-laki yang ternyata bukan seorang guru yang bertugas di sekolah tersebut melainkan seorang petugas gereja Katolik yang berada di pusat Distrik Meyah. Ia mengajar dengan suka rela, tanpa digaji sebagai bentuk tanggung jawab dan panggilannya sebagai pelayan Gereja.   Ia mengambil alih proses belajar mengajar yg seharusnya menjadi tugas pemerintah karena sudah  2 tahun anak-anak ini tidak memiliki seorang guru.  Menurutnya sekolah ini pernah memiliki guru kontrak namun semuanya tidak betah megajar  dan pulang ke kota.
Saya sangat ingat dengan pesan seorang bapak kepada saya,  katanya; "Anak, kalau anak pulang ke kota, beritahukan kepada bapak bupati bahwa kami di sini tidak ada guru,  anak-anak ini butuh guru."  Mendengar pesan itu, saya hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala saya, tetapi dalam hati saya berjanji, saya akan menulis keadaan ini dalam sebuah laporan yang diberikan kepada Pemda. Semoga mereka bisa membaca laporan itu dan tergerak untuk menyelesaikan masalah pendidikan di daerah ini. Sedih hati saya merasakan keadaan ini. Saya berharap semoga mereka ini bisa mendapat seorang guru yang setia mengajari mereka.
Gedung sekolah ini dibangun begitu megah namun tanpa fasilitas belajar mengajar (papan tulis, bangku, meja, buku, seragam sekolah, dll), bahkan tidak ada seorang pun  guru di sini. Tidak tahu kelas berapa anak-anak ini? Mereka semua digabung dalam satu kelas.
foto bersama anak-anak SD Negeri Miyah (foto: Afia Tahoba)
Hati saya hanya bisa menjerit, "mau jadi apa generasi Papua kita nantinya?" Anak-anak Papua adalah anak-anak yang pintar dari sejak lahir. Hanya tinggal diasah saja kemampuan mereka melalui akses terhadap pendidikan yg layak.  Tidak ada satu pun anak Papua yg bodoh. Jangan salahkan mereka dan berkata bahwa anak-anak Papua tidak mampu atau tidak berkualitas. Jika output pendidikan di Papua kurang baik, maka yang bertanggungjawab atas semua ini adalah pemerintah. Dimana  kinerja pemerintah kita? bagaimana caranya mereka menangani pendidikan di Papua?  Katanya dana otonomi khusus sebagian besar  dialokasikan untuk pendidikan  tetapi kenyataannya masih terdapat generasi Papua yang tetap tidak bisa belajar dengan baik karena kekurangan guru. Apakah pembangunan infrastruktur lebih utama dibandingkan pembangunan sumberdaya manusia? Ataukah membangun infrastruktur lebih banyak duitnya sehingga lebih mudah dikorupsi dibandingkan membangun SDM?  Sedih rasanya! 
Dulu, orang tua kami bisa  bersekolah dengan fasilitas yang sangat minim tetapi ada juga yang berhasil bahkan menjadi pejabat. Saya yakin para gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat juga pernah merasakan bersekolah dengan fasilitas yang minim. Artinya aspek sumber daya manusialah yang perlu dibangun dan diprioritaskan.
Situasi pendidikan di daerah ini sudah bisa menggambarkan keadaan pendidikan di beberapa daerah pedalaman di provinsi Papua dan Papua Barat. Saya berpikir tugas pemerintah untuk membangun pendidikan seharusnya didasarkan pada kerangka sistem. Bukan hanya sekolahnya saja tetapi semua unsur-unsur utama pendidikan yang menentukan keberhasilan pendidikan perlu dibangun dan diperhatikan. Satu unsur saja tidak diperhatikan maka akan menjadikan pembangunan pendidikan di Papua ini menjadi cacat.   

Rabu, 26 Februari 2014

Perempuan Papua, Perempuan Tangguh!


Perempuan Papua bekerja bukan untuk dirinya tetapi untuk keluarganya (anak-anak, suami bahkan kerabatnya)
Merka memilih bekerja untuk menyelamatkan tumahtangganya dari ancaman kemiskinan.  Tak mengherankan jika mereka duduk di pasar dari pagi sampai malam hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumtifnya semata. Tak ada hasil jualannya yang ditabung, yang dipikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan hidup keluarganya hari ini.
Seandainya mereka sejahtera, tak mungkin mereka bekerja seperti demikian! Sampai kapankah kesejahteraan itu dapat mereka raih? Siapa orang atau lembaga yang paling bertanggungjawab meningkatkan kesejahteraan mereka?
Tolong jangan menutup mata!  Jangan biarkan Perempuan Papua ini hanya duduk di emperan-emperan toko.  Kapankah mereka berdaya dan duduk di dalam toko sebagai pemilik toko yang sedang berjualan? kapankah senyum keceriaan tanpa beban terlihat di wajah mereka?

Jumat, 21 Februari 2014

Peran ganda perempuan Papua sebagai strategi menyelamatkan rumahtangganya dari kemiskinan!

Distrik Kuri Wamesa Kab. Wondama (Foto: Afia Tahoba)
Hubungan gender adalah hubungan sosial antara laki-laki dengan perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya serta memiliki banyak perbedaan dan kesetaraan. Sajogyo (1980) menyatakan bahwa beban kerja wanita dilihat dari curahan waktu yang diberikan pada pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan mencari nafkah lebih besar daripada curahan waktu laki-laki. Dengan demikian hubungan gender dalam rumah tangga perempuan asli Papua menunjukan terdapat kesenjangan curahan jam kerja yang besar.
Ibu harus bekerja 17,25 jam per hari sedangkan bapak hanya 5,85 jam per hari. Kesenjangan tersebut mengakibatkan terjadinya beban ganda atau beban berlebihan (double burden) yang harus ditanggung ibu setiap harinya. Terjadinya suatu beban kerja berlebihan yang ditanggung ibu dalam suatu rumah tangga menunjukan bahwa tidak adanya kesetaraan dan keadilan gender di dalam rumah tangga. Sebagaimana Bainar (1998) mengemukakan bahwa kelebihan beban kerja (double burden) terjadi sebagai akibat dari ketidak - setaraan dan ketidak - adilan gender dalam rumahtangga. Untuk itu perlu adanya perlakuan adil dalam melaksanakan kedua peran tersebut.
Disisi lain, ibu pedagang Papua menganggap bahwa pekerjaan reproduksi tidak bisa dikerjakan sepenuhnya oleh laki-laki karena hal itu melanggar adat yang berlaku dan dikatakan tidak menghargai suami. Sehingga walaupun mereka harus bekerja di luar rumah, mereka juga harus melakukan kewajiban di dalam rumah. Sehingga bagi mereka peran ganda merupakan hal yang sudah biasa dilakukan. Jika tidak demikian maka keluarga mereka akan kekurangan makan bahkan anak-anak mereka tidak bersekolah atau dengan katalain keluarga mereka bisa jatuh miskin karena tidak bisa memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ibu berperan ganda merupakan suatu strategi untuk mengatasi kemiskinan. Hal ini sesuai dengan pendapat Soetrisno (1997) bahwa pada dasarnya perempuan Indonesia dari golongan ekonomi menengah ke bawah mengatasi kemiskinannya dengan melakukan peran ganda.
Akibatnya dari peran ganda ini, ibu hampir tidak pernah memiliki waktu istirahat. ibu kurang memberi perhatian kepada anak. Sebagian besar ibu hanya memberi perhatian pada saat anak berusia kurang dari enam tahun sedangkan menurut mereka apabila anak sudah bersekolah berarti sudah bisa ditinggalkan dan dapat mengurus diri sendiri seperti makan, belajar, mandi dan lain-lain sehingga tidak perlu untuk selalu dijaga atau dibimbing. Padahal di dalam keluarga terdapat berbagai fungsi yang harus dijalankan, salah satunya adalah fungsi psikologis dimana keluarga harus dapat memenuhi kebutuhan anak (Ihromi, 1999). Kebutuhan anak pada dasarnya mencakup, (1) kebutuhan biologis yaitu anak-anak memerlukan makanan dan zat gizi untuk pertumbuhan dan perkembangannya, (2) kebutuhan psikologis yaitu anak-anak memerlukan kasih sayang, rasa senang, perhatian dan sebagainya (3) kebutuhan sosial yaitu anak-anak memerlukan hubungan dengan orang lain termasuk saudara-saudaranya, orang tuanya (Suhardjo, 1989). Sehingga apabila anak kurang diperhatikan maka kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi. Hal itu dapat berakibat pada terganggunya perkembangan fisik maupuan kesehatan mental anak.
Dengan demikian diharapkan perlu adanya kesetaraan gender dalam rumah tangga pedagang asli Papua dengan melakukan program pengembangan yang dapat membantu dan mempermudah pekerjaan perempuan dan mengurangi beban atau menurunkan jam kerja perempuan. Dan Perlu ada program peningkatan peran laki-laki khususnya peran produktif dan reproduktif atau memberikan alternatif peran baru kepada laki-laki untuk mengisi kekosongan laki-laki.