Perempuan Papua

Perempuan Papua

Senin, 17 Maret 2014

Indentitas Gender (gender indentity) telah dibentuk sejak masa kecil melalui proses adaptasi seperti layaknya seorang anak belajar berbicara menggunakan bahasa ibu terlihat dari aktivitas yang dilakukan anak-anak perempuan Papua ini!

Mereka dilahirkan sebagai seorang laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin biologis. Tetapi, jalan yang membedakan mereka maskulin dan feminin adalah gabungan blog-blog bangunan biologis dasar  dan interpretasi biologis oleh kultur mereka.  Setiap masyarakat dalam sistem sosialnya memiliki berbagai scripts  untuk  diikuti oleh anggotanya.  Demikian juga masyarakat Papua, seperti mereka belajar memainkan peran feminin dan maskulin sebagaimana mereka  mempelajari  dan mempraktekkan bahasa mereka sendiri.
Gambar di samping sangat jelas menggambarkan bagaimana praktek-praktek aktivitas yang membedakan perempuan dan laki-laki telah terbentuk dari masa kecil.  Praktek-praktek  yang dilakukan anak perempuan tersebut  seakan menunjukkan  identitas gender mereka yaitu persepsi internal dan pengalaman mereka tentang gender, menggambarkan identifikasi psikologis di dalam otak mereka sebagai anak perempuan.  
Sejak mereka dilahirkan hingga menjadi usia tua,  meraka mempelajari dan mempraktikan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat  dalam sistem sosialnya  untuk menjadi laki-laki dan perempuan.  Seperangkat  perilaku  atau peran khusus ini  mencakup  bekerja di dalam dan di luar rumahtangga, tanggungjawab dalam rumahtangga,  yang kemudian  secara bersama-sama memoles peran gender kita dalam sistem masyarakat Papua.
Perempuan  telah diajarkan  dari kecil  melakukan urusan   memelihara, membersihkan, mengolah dan meyiapkan adalah  tanggungjawab perempuan. Hal ini diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan  mereka berada, yaitu memelihara anjing, babi, kebun, rumah, dan  anak. Perempuan yang membersihkan  peralatan tumahtangga,  pekarangan, memandikan  anak dan hewan peliharaan, membersihkan hasil tangkapan/buruan laki-laki,  memasak, mengestrak sagu, dll.    Sedangkan laki-laki berusan  dengan  memanah, menebang, menangkap.  Urusan tersebut diterapkan dalam kegiatan   berperang, berburuh,  menangkap ikan di laut, menebang kayu,  dan kemudian laki-laki juga bertanggungjawab dalam membuka lahan, menebang sagu, membangun rumah, dll.  Pekerjaan-pekerjaan tersebut lebih banyak dilakukan di luar rumah sehingga pekerjaan itu identik dengan peran laki-laki yang lebih dominan di sektor publik.
Perbedaan peran gender tersebut menjadi masalah ketika peran gender itu  menghasilkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan pada satu jenis kelamin  tertentu yang biasanya adalah perempuan.  Mereka yang berjenis kelamin laki-laki memperoleh dan menikmati kedudukan yang lebih baik sehingga perempuan menjadi tersubordinasi, termarjinalisasi, mendapat kekerasan,  beban ganda dan pelebelan/stereotyping yang negative terhadapnya.

Kamis, 06 Maret 2014

Diskriminasi Terhadap ODHA Menghambat Upaya Pencegahan HIV dan AIDS!

Perlakuan diskriminasi terhadap ODHA merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia.  Perlu kita ingat bahwa seorang ODHA tetaplah seorang manusia biasa yang juga mempunyai hak asasi. Dengan demikian ODHA mempunyai hak untuk hidup, hak untuk mendapat pelayanan dan perlakukan adil seperti layaknya manusia biasa.
Kenyataannya masih terjadi  perlakuan diskriminasi terhadap ODHA di Papua bahkan di dunia. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden pada tahun 2012 dan beberapa ODHA pada tahun 2013, kami menemukan contoh-contoh tindakan diskriminasi terhadap ODHA di masyarakat. Kasus tersebut antara lain;  (1) ditemukan terdapat mayat  ODHA yang tidak dimandikan atau dibersihkan dan langsung di kuburkan, (2) menguburkan mayat ODHA tidak melewati upacara doa pemakaman, tidak menggunakan peti mati dan dikuburkan pada waktu tengah malam oleh keluarganya secara tertutup (seperti menguburkan hewan yang mati) (3) menurut pengakuan ODHA, mereka merasa dijauhi oleh orang-orang yang telah mengetahui statusnya sebagai ODHA, (4) masih terdapat perlakuan diskriminasi  yang justru datang dari petugas kesehatan.
Menurut beberapa ODHA yang diwawancai,  perlakuan diskriminasi tersebut cenderung mengintimidasi mereka sehingga sulit baginya untuk membuka statusnya sebagai ODHA. Beberapa dari ODHA memutuskan untuk berdiam diri  dan tidak melakukan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan. Hal ini lebih diperparah lagi dengan pengakuan mereka bahwa terdapat juga beberapa  tenaga kesehatan, khususnya bagian pelayanan HIV/AIDS yang  tidak menjaga kerahasiaan status ODHA,  bahkan mereka menceritakan kepada sesama  tenaga kesehatan  lainnya, sehingga ODHA sering mendapat perlakuan diskriminasi dalam pelayanan kesehatan, khususnya pada saat mereka ingin melakukan pemeriksaan penyakit lainnya. Keadaan ini mendatangkan konsekuensi psikologis yang besar bagi  ODHA untuk dapat melihat diri mereka sendiri, yang kemudian akan membawa mereka pada keadaan depresi, kurang percaya diri dan putus asa. 
Perlakukan diskriminasi terhadap ODHA  di lingkungannya dan dalam mendapat pelayanan medis  merupakan suatu perlakukan yang menghambat upaya penanggulangan penyakit HIV/AIDS  di Papua  dan  Indonesia.   Oleh karena itu perlakuan diskriminasi  terhadap ODHA harus dihapuskan.  Namun penghapusan diskriminasi terhadap ODHA bukanlah hal yang mudah. Kita harus lebih dulu memahami faktor-faktor penyebab seseorang melakukan diskriminasi. Berbicara mengenai diskriminasi,  tentunya tidak terlepas dari faktor-faktor  psikologis yang mendorong seseorang untuk bertindak atau berperilaku  
Faktor-faktor psikologis tersebut adalah sikap yang negatif terhadap ODHA, motif atau dorongan yang timbul berdasarkan kebutuhan akan rasa aman dan kebutuhan akan hubungan dengan sesama, sistem kognitif yang tidak logis dan tidak kreatif dalam membuat suatu keputusan, sitem kepercayaan berupa HIV/AIDS dapat menular melalui kontak sosial biasa,  HIV/AIDS adalah penyakit orang berdosa seperti penyakit kaum homoseksual, penyakit bagi kaum pekerja seks dan para pengguna narkoba, HIV/AIDS merupakan kutukan dari Tuhan,  sehingga kepercayaan ini membentuk sikap negatif yang diekpresikan melalui perilaku penolakan dan diskriminasi.
Dibutuhkan kerja keras dari berbagai pihak khususnya pemangku kepentingan untuk mengurangi dan mencegah tindakan diskriminasi terhadap ODHA. Perlu diingat bahwa merubah perilaku bukanlah hal yang mudah dan instan. Sebagai solusi untuk menghapus diskriminasi terhadap ODHA dan membentuk perilaku non diskriminasi  adalah (1) dengan memberikan informasi yang lengkap  dan jelas tentang HIV/AIDS.   Dengan memberi pengertian yang jelas, diharapkan dapat merubah sikap, kepercayaan dan sistem kognitifnya, (2) membentuk perilaku dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku non diskriminatif khususnya pada petugas-petugas kesehatan atau pada pelaku-pelaku diskriminasi yang bukan dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan tentang penyakit HIV/AIDS.

Rabu, 05 Maret 2014

Kekerasan Terhadap Perempuan di Kabupaten Manokwari

Juli 2013,  saya pergi ke Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat  untuk mendapatkan data tentang kondisi kekerasan terhadap perempuan dan anak di kabupaten Manokwari.  Saya pergi ke sana sebab dinas inilah yang paling banyak menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dan memiliki sistem pencatatan yang cukup lengkap.  Saya mencoba merangkum data-data tersebut dalam sebuah tulisan tentang bagaimana situasi kekerasan terhadap perempuan di Kapubaten Manokwari.
Data kekerasan yang ditampilkan adalah tindak kekerasan yang dilaporkan dan tercatat pada tahun 2011 dan 2012.  Saya yakin kasus kekerasan yang tidak dilaporkan pasti lebih banyak dibandingkan yang dicatat atau dilaporkan.  Ada banyak faktor  yang menyebabkan mengapa kasus-kasus kekerasan tidak diangkat  ke permukaan dan diselesaikan melalui suatu lembaga yang berkompoten. Faktor-faktor tersebut antara lain;  intimidasi dari suami dan keluarganya terkait adanya persepsi budaya  yang menganggap aib jika masalah rumah tangga dibawah keluar ke ranah publik atau lebih menjaga nama baik rumah tangga dan suaminya, ketergantungan ekonomi pada suami atau laki-laki dan rasa ketakutan terhadap laki-laki terkait pemikiran  laki-laki sebagai makluk superior dan perempuan sebagai makluk inferior, kurang sosialisasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga,  pengetahuan yang rendah tentang cara advokasi korban kekerasan, hambatan lingkungan geografis, ketersediaan sarana prasarana, dll.
Tingkat Kekerasan Terhadap Perempuan
Jumlah korban kekerasan pada tahun 2011 sebanyak   21 orang meningkat menjadi 28 orang di tahun 2012. Demikian juga jumlah pelaku kekerasan sebanyak 22 orang  meningkat menjadi 32 orang pada tahun 2012. Sebagian besar korban kekerasan adalah perempuan sedangkan pelaku kekerasan adalah laki-laki.  Laki-laki sebagai pelaku kekerasan berkaitan dengan sifat agresivitas laki-laki  serta pemahaman yang keliru terhadap perempuan sebagai makluk inferior dan laki-laki sebagai mahluk superior sehingga  boleh menguasai perempuan dan memperlakukan perempuan semaunya. 
Bentuk kekerasan yang umumnya terjadi pada perempuan adalah  kekerasan  fisik  dan psikis. Perempuan sering menjadi objek kekerasan yang dilakukan laki-laki karena faktor emosi atau sifat sang pria yang temperamental.  Menurut  ahli psikologi  Kasandra Putranto (2008) "seseorang melakukan kekerasan karena adanya sebuah distribusi kekuatan yang tak seimbang,  misalnya yang laki-laki kuat perempuan lemah".
Data  menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan lebih besar dari jumlah pelakunya. Artinya setiap pelaku melakukan bentuk tindak kekerasan berlapis.  Dengan demikian perempuan mendapat lebih dari satu bentuk kekerasan, atau   laki-laki tidak hanya melakukan kekerasan fisik atau psikis semata namun ada indikasi laki-laki melakukan  lebih dari satu bentuk kekerasan secara bersama-sama terhadap perempuan.  Kekerasan ini merujuk pada tingkah laku yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor internal pelaku (sifat, motif, intensi)  dan  oleh faktor eksternal (aspek fisik dan sosial budaya) pelaku  dan bisa dipengaruhi oleh  kombinasi dari keduanya.
Karekteristik Korban Kekerasan
Sebagian besar perempuan korban kekerasan berumur lebih dari 18 tahun atau dalam kategori kelompok umur dewasa dan diikuti oleh umur 12 – 18 tahun  dan umur kurang dari 12  tahun.  Kekerasan yang terjadi pada anak perempuan  berumur kurang dari 18 tahun pada umumnya adalah kekerasan seksual.  Apabila anak  perempuan mendapat kekerasan seksual maka akan diikuti dengan kekerasan psikis yang sangat mengganggu perkembangan mentalnya.   Kekerasan seksual yang terjadi pada seorang perempuan dikarenakan sistem tata nilai yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki; perempuan masih ditempatkan dalam posisi subordinasi dan marginalisasi yang harus dikuasai, dieksploitasi dan diperbudak laki-laki dan juga karena perempuan masih dipandang sebagai second class citizens.   Selain itu mengutip E. Kristi Poerwandari (2000), perkosaan adalah tindakan pseudo-sexual, dalam arti merupakan perilaku seksual yang tidak selalu dimotivasi dorongan seksual sebagai motivasi primer, melainkan berhubungan dengan penguasaan dan dominasi, agresi dan perendahan pada satu pihak (perempuan) oleh pihak lainnya (laki-laki) misalnya dari segi usia yang masih kecil dan perempuan yang lemah.
Kekerasan bisa menimpa siapa saja tak mengenal tingkat pendidikan. Perempuan korban kekerasan memiliki tingkat pendidikan yang menyebar bervariasi mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi.  Korban yang berpendidikan SMA dan Perguruan Tinggi pada umumnya mengalami kekerasan fisik, psikis dan ekonomi sedangkan sebagian besar korban yang berpendidikan SD dan SMP adalah korban kekerasan seksual berupa pemerkosaan dan percabulan.  Hal ini menunjukan bahwa tinggi rendahnya pendidikan tidak menuntukan tinggi rendahnya seseorang menjadi korban kekerasan.
Sebagian besar korban kekerasan dialami oleh perempuan yang tidak bekerja.  Hal ini menunjukkan bahwa perempuan yang  tidak bekerja  lebih berpeluang mendapat tindak kekerasan dibandingkan perempuan yang bekerja.   Penyebab kekerasan  dalam rumah tangga diduga  karena perempuan tidak memiliki pekerjaan, sehingga tidak dihargai oleh suami,  selain itu karena ketergantungan ekonomi pada laki-laki sehingga suami merasa bisa menguasai, memerintah  dan mengatur kehidupan  istrinya.  Data lain juga menunjukan perempuan yang bekerja juga mendapat kekerasan dari laki-laki.  Hal ini lebih banyak disebabkan faktor kecemburuan laki-laki terhadap perempuan dan didukung oleh  sifat laki-laki yang cenderung agresif.
Hasil penelitian Purwaningsih (2008)  juga menunjukkan perempuan yang mengalami korban kekerasan dalam rumah tangga umumnya disebabkan  kurangnya komunikasi antara suami dan istri, tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga, kesalahan istri, ketidakmampuan suami secara ekonomi, adanya perselingkuhan yang dilakukan suami, pengaruh minuman keras dan akibat adanya kawin paksa dari pihak keluarga.
 Data menunjukan bahwa sebagian besar korban kekerasan memiliki hubungan keluarga dengan pelaku,  yaitu sebagai  keluarga korban kekerasan menempati urutan pertama,   disusul dengan pelaku sebagai pihak yang lainnya dan diikuti dengan pelaku sebagai orang tua korban.  Kekerasan yang terjadi berdasarkan hubungan korban dengan pelaku berkaitan dengan urusan dalam rumah tangga yang menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga.  Sedangkan hubungan korban dengan lainnya dan dengan orang tuanya memiliki bentuk kekerasan seksual dan terjadi pada anak perempuan.   

Senin, 03 Maret 2014

Kehadiran perusahaan di wilayah pedesaan (pedalaman) Papua, memarjinalisasikan kaum perempuan Papua

Oktober 2012, saya bersama 3 orang  teman (Sepus, Ketty dan Hans)  datang ke beberapa perusahaan di daerah sekitar kawasan hutan di wilayah Provinsi Papua Barat.  Kami melakukan pertemuan dengan kelompok masyarakat pribumi di lokasi tersebut,   tepatnya di daerah pedesaan Kabupaten Wondama dan di daerah perbatasan Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Bintuni.  
Ada banyak hal yang kami temukan di sana. Salah satunya adalah  bagaimana  kaum perempuan menjadi pihak yang paling terabaikan dalam kebijakan perusahaan.  Selain itu telah terjadi perubahan peran gender secara  tradisional akibat  direkrutnya laki-laki/suami sebagai pekerja perusahaan.  Saya sempat mendokumentasikan  kedua gambar di atas yang menujukan perempuan telah menggantikan peran tradisional laki-laki karena telah kehilangan salah satu tenaga kerja keluarga yang potensial.  Beban kerja perempuan semakin bertambah lagi!
Kehadiran perusahaan dalam sistem social masyarakat Papua secara khusus di daerah pedalaman atau pedesaan tentu saja akan mempengaruhi perubahan  sosial masyarakat tersebut. Hasil penelitian kami yang disponsori Samdhana institute di beberapa perusahaan pada daerah sekitar hutan di wilayah Provinsi Papua Barat, menemukan bahwa banyak perusahaan yang beroperasi di daerah pedesaan Papua lebih banyak menerima tenaga kerja kaum laki-laki  dibandingkan perempuan.  Bahkan telihat pula dari permintaan tenaga kerja yang sudah mempersyaratkan jenis kelamin laki-laki, dengan alasan tuntutan pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik sehingga lebih pantas dilakukan oleh kaum laki-laki dibandingkan perempuan.  Hal ini menunjukan pola pikir yang masih dipengaruhi oleh budaya patriarki, sehingga mengkonstruksikan perbedaan nilai-nilai maskulinitas dan feminitas dalam pengambil keputusan dan bertindak. Hal ini  berdampak pada kebijakan-kebijakan perusahaan yang bias gender  yang cenderung mengsubordinasikan kaum perempuan.
Selain itu, terdapat beberapa perusahaan yang merekrut tenaga kerja lokal laki-laki untuk bekerja dari pagi sampai sore.  Bahkan ,ada juga perusahaan yang menyediakan tempat tinggal (barak karyawan) sehingga pekerja laki-laki harus menginap dan diijinkan pulang ke keluarga mereka pada hari Sabtu atau Minggu saja (kasus ini ditemukan di Distrik Animha Kabupaten Merauke).  
Kebijakan tersebut dianggap baik oleh perusahaan, pemerintah bahkan sebagian besar masyarakat dengan pandangan bahwa perusahaan  sudah cukup peduli dengan masyarakat sekitar serta sudah menjalankan tanggungjawab social perusahaan dan ikut meningkatkan pendapatan keluarga pekerja orang Papua.
Namun yang menjadi pertanyaannya adalah;   Apakah kebijkan tersebut mampu memberikan peningkatan kesejahteraan bagi kaum perempuan dan anak? Perlu dingat bahwa peningkatan pendapatan suami/laki-laki  tidak menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan keluarga  (perempuan dan anak). 
Hasil penelitian kami menunjukan bahwa walaupun laki-laki bekerja di perusahaan  namun proses kontrol terhadap sumberdaya (pendapatan) dan pengambilan keputusan atas pemanfaatan pendapatannya  dilakukan oleh laki-laki karena merasa haknya  sebagai yang bekerja  dan merasa pendapatan (uang) tersebut adalah miliknya.   Ditemukan juga ada kecenderungan alokasi pendapatan tersebut  kurang efektif dan efisien, karena sebagian besar digunakan laki-laki untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat non prioritas,  seperti membelanjakan pinang, rokok, minuman beralkohol bahkan membayar utang di koperasi milik perusahaan. 
Hal ini memberikan indikasi bahwa bertambahnya pendapatan laki-laki yang bekerja pada perusahaan cenderung tidak memberikan keuntungan yang berarti bagi perempuan dan keluarganya. Keadaan tersebut menuntut perempuan harus bekerja dalam kegiatan produksi  untuk menafkahi keluarganya dan tidak bisa hanya menggantungkan hidupnya semata-mata hanya pada pendapatan laki-laki dari perusahaan.  
Dampak lainnya, ketika laki-laki  bekerja dari pagi sampai sore  atau menginap di barak perusahaan, maka perannya secara tradisional seperti  membuka kebun,  menebang kayu atau sagu,  menokok sagu atau menangkap ikan di laut digantikan oleh kaum perempuan dan anak-anaknya. Akibatnya luas pembukaan lahan tidak seluas seperti laki-laki bekerja dan juga luas areal penangkapan ikan  tidak sejauh yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Hal ini mempengaruhi  produksi dan ketersediaan pangan bagi keluarganya yang semakin berkurang sehingga memberikan indikasi  bagi rendahnya ketahanan pangan perempuan dan anak dalam keluarga.
Dapat dibayangkan beban kerja perempuan yang secara tradisional sudah terjadi double burden kini bertambah lagi akibat suaminya bekerja di perusahaan. Tanpa disadari perempuan menjadi korban kekerasan ekonomi dalam rumahtangga serta menjadi kaum yang paling terabaikan dalam kebijakan perusahaan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa  kehadiran sebagian besar perusahaan di daerah pedesaan/ pedalaman Papua  hanya berdampak pada memarjinalisasikan kaum perempuan. 
Diharapkan  kehadiran perusahaan di Papua dapat   merancang program-program yang responsif gender sehingga  bisa mengurangi beban perempuan serta tidak hanya menggantungkan hidup mereka pada kaum laki-laki semata.  Selain itu diperlukan dukungan pemerintah daerah untuk menciptakan regulasi bagi perusahaan yang hendak beroprasi di wilayah Papua untuk mendukung pengarusutamaan (gender mainstreeming) di lingkungan perusahaan sehingga mampu menciptakan program-program layanan sosial yang responsif gender.