Perempuan Papua

Perempuan Papua

Senin, 03 Maret 2014

Kehadiran perusahaan di wilayah pedesaan (pedalaman) Papua, memarjinalisasikan kaum perempuan Papua

Oktober 2012, saya bersama 3 orang  teman (Sepus, Ketty dan Hans)  datang ke beberapa perusahaan di daerah sekitar kawasan hutan di wilayah Provinsi Papua Barat.  Kami melakukan pertemuan dengan kelompok masyarakat pribumi di lokasi tersebut,   tepatnya di daerah pedesaan Kabupaten Wondama dan di daerah perbatasan Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Bintuni.  
Ada banyak hal yang kami temukan di sana. Salah satunya adalah  bagaimana  kaum perempuan menjadi pihak yang paling terabaikan dalam kebijakan perusahaan.  Selain itu telah terjadi perubahan peran gender secara  tradisional akibat  direkrutnya laki-laki/suami sebagai pekerja perusahaan.  Saya sempat mendokumentasikan  kedua gambar di atas yang menujukan perempuan telah menggantikan peran tradisional laki-laki karena telah kehilangan salah satu tenaga kerja keluarga yang potensial.  Beban kerja perempuan semakin bertambah lagi!
Kehadiran perusahaan dalam sistem social masyarakat Papua secara khusus di daerah pedalaman atau pedesaan tentu saja akan mempengaruhi perubahan  sosial masyarakat tersebut. Hasil penelitian kami yang disponsori Samdhana institute di beberapa perusahaan pada daerah sekitar hutan di wilayah Provinsi Papua Barat, menemukan bahwa banyak perusahaan yang beroperasi di daerah pedesaan Papua lebih banyak menerima tenaga kerja kaum laki-laki  dibandingkan perempuan.  Bahkan telihat pula dari permintaan tenaga kerja yang sudah mempersyaratkan jenis kelamin laki-laki, dengan alasan tuntutan pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik sehingga lebih pantas dilakukan oleh kaum laki-laki dibandingkan perempuan.  Hal ini menunjukan pola pikir yang masih dipengaruhi oleh budaya patriarki, sehingga mengkonstruksikan perbedaan nilai-nilai maskulinitas dan feminitas dalam pengambil keputusan dan bertindak. Hal ini  berdampak pada kebijakan-kebijakan perusahaan yang bias gender  yang cenderung mengsubordinasikan kaum perempuan.
Selain itu, terdapat beberapa perusahaan yang merekrut tenaga kerja lokal laki-laki untuk bekerja dari pagi sampai sore.  Bahkan ,ada juga perusahaan yang menyediakan tempat tinggal (barak karyawan) sehingga pekerja laki-laki harus menginap dan diijinkan pulang ke keluarga mereka pada hari Sabtu atau Minggu saja (kasus ini ditemukan di Distrik Animha Kabupaten Merauke).  
Kebijakan tersebut dianggap baik oleh perusahaan, pemerintah bahkan sebagian besar masyarakat dengan pandangan bahwa perusahaan  sudah cukup peduli dengan masyarakat sekitar serta sudah menjalankan tanggungjawab social perusahaan dan ikut meningkatkan pendapatan keluarga pekerja orang Papua.
Namun yang menjadi pertanyaannya adalah;   Apakah kebijkan tersebut mampu memberikan peningkatan kesejahteraan bagi kaum perempuan dan anak? Perlu dingat bahwa peningkatan pendapatan suami/laki-laki  tidak menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan keluarga  (perempuan dan anak). 
Hasil penelitian kami menunjukan bahwa walaupun laki-laki bekerja di perusahaan  namun proses kontrol terhadap sumberdaya (pendapatan) dan pengambilan keputusan atas pemanfaatan pendapatannya  dilakukan oleh laki-laki karena merasa haknya  sebagai yang bekerja  dan merasa pendapatan (uang) tersebut adalah miliknya.   Ditemukan juga ada kecenderungan alokasi pendapatan tersebut  kurang efektif dan efisien, karena sebagian besar digunakan laki-laki untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat non prioritas,  seperti membelanjakan pinang, rokok, minuman beralkohol bahkan membayar utang di koperasi milik perusahaan. 
Hal ini memberikan indikasi bahwa bertambahnya pendapatan laki-laki yang bekerja pada perusahaan cenderung tidak memberikan keuntungan yang berarti bagi perempuan dan keluarganya. Keadaan tersebut menuntut perempuan harus bekerja dalam kegiatan produksi  untuk menafkahi keluarganya dan tidak bisa hanya menggantungkan hidupnya semata-mata hanya pada pendapatan laki-laki dari perusahaan.  
Dampak lainnya, ketika laki-laki  bekerja dari pagi sampai sore  atau menginap di barak perusahaan, maka perannya secara tradisional seperti  membuka kebun,  menebang kayu atau sagu,  menokok sagu atau menangkap ikan di laut digantikan oleh kaum perempuan dan anak-anaknya. Akibatnya luas pembukaan lahan tidak seluas seperti laki-laki bekerja dan juga luas areal penangkapan ikan  tidak sejauh yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Hal ini mempengaruhi  produksi dan ketersediaan pangan bagi keluarganya yang semakin berkurang sehingga memberikan indikasi  bagi rendahnya ketahanan pangan perempuan dan anak dalam keluarga.
Dapat dibayangkan beban kerja perempuan yang secara tradisional sudah terjadi double burden kini bertambah lagi akibat suaminya bekerja di perusahaan. Tanpa disadari perempuan menjadi korban kekerasan ekonomi dalam rumahtangga serta menjadi kaum yang paling terabaikan dalam kebijakan perusahaan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa  kehadiran sebagian besar perusahaan di daerah pedesaan/ pedalaman Papua  hanya berdampak pada memarjinalisasikan kaum perempuan. 
Diharapkan  kehadiran perusahaan di Papua dapat   merancang program-program yang responsif gender sehingga  bisa mengurangi beban perempuan serta tidak hanya menggantungkan hidup mereka pada kaum laki-laki semata.  Selain itu diperlukan dukungan pemerintah daerah untuk menciptakan regulasi bagi perusahaan yang hendak beroprasi di wilayah Papua untuk mendukung pengarusutamaan (gender mainstreeming) di lingkungan perusahaan sehingga mampu menciptakan program-program layanan sosial yang responsif gender.

Tidak ada komentar: