Perempuan Papua

Perempuan Papua

Sabtu, 10 Mei 2014

Perjuangan Hidup Perempuan-Perempuan Papua Suku Awuyu di Sebuah Anak Sungai Digoel (Menangkap ikan sambil menjaga anak)



Pada 18 September 2013 saya  bersama team tiba di kota Tanah Merah, ibu kota Kabupaten Boven Digoel, setelah menempuh perjalanan dari Merauke kurang lebih 9 jam. Tidak terbayangkan dalam pikiran saya bahwa akhirnya saya bisa sampai di tempat pembuangan (penjara) wakil presiden pertama,  M. Hatta yang saya tahu dalam pelajaran sejarah waktu masih belajar di  SMP.
Selama seminggu kami  menggunakan mobil hartop mengunjungi beberapa distrik yang menjadi daerah pengamatan kami, mulai dari Tanah Merah, menuju distrik Arimob, Iniyandit, Mindiptana, Waropko dan Kombut. Sesudah itu kami melanjutkan perjalanan melalui Distrik Sesnuk menuju tiga distrik yang berada di pinggiran sungai digoel yaitu distrik Jair  (kampung Getentiri), Subur dan Ujungkia.  Karena waktu telah larut malam maka kamipun beristirahat di sebuah penginapan di Jair untuk mempersiapkan diri karena besok pagi kami harus berangkat ke Distrik Ujungkia dan singgah di distrik Subur menggunakan sebuah speed boad melewati sungai digoel.
Cuaca pagi itu begitu mendukung.  Jam tangan saya menunjukkan pukul 07.00 WIT. Matahari pagi bersinar berkilauan di atas air sungai Digoel yang telihat begitu jernih tetapi menyilaukan mata. Kamipun menuju distrik Ujungkia melewati beberapa tikungan dinding sungai, melewati sebuah pulau yaitu pulau Terek dan berputar haluan ke kanan memasuki muara sungai Kia.  Perjalan sampai ke muara memakan waktu 2 jam tepat pada jam 09.00 WIT.
Kami mulai  memasuki muara Kia  yang lebarnya hanya berkisar 10 - 25 meter, di pinggiran sungai dipenuhi oleh pohon nipah serta warna air yang keruh sehingga kami tak bisa melihat benda apapun di dasar sungai tersebut. Sesekali speed baod kami seakan mau terbalik karena menabrak dahan pohon yang tenggelam di dasar sungai itu.  Hal itu membuat hati saya sedikit goyah dan ada teriakan kecil memanggil “Tuhan Tolong!”  Anehnya lagi ekspresi kegugupan saya ditertawai oleh motoris yang membawa kami ke sana.  Dalam hati saya berkata “ Pace ko biasa saja ka! Mentang-mentang berpengalaman jadi tertawa terus, tra lama ikan lompat masuk ke ko pu dalam mulut baru ko tau”  
Dalam perjalanan itu, saya mulai menemukan beberapa perahu tidak bersemang, yang diisi oleh 2 – 4 orang dengan memegang perlengkapan sederhana seperti jaring dan nelon. Semakin kami berjalan maju semakin banyak perahu yang kami temukan. Rupanya sungai Kia ini adalah satu-satunya sungai yang menyediakan   sumber protein berupa ikan, kepiting dan udang bagi masyarakat suku Awuyu  yang tinggal di kampung-kampung  pesisir sungai itu dan kebetulan waktu yang kami lalui adalah waktu-waktu yang biasanya mereka gunakan untuk mencari ikan.
Dalam hati saya bertanya; mengapa yang saya temui paling banyak (80%)  adalah para perempuan dan anak-anaknya?  Dalam satu perahu bisa diisi oleh tiga anak dan satu orang ibu.  Pertanyaan itu saya simpan dalam hati karena kami harus melewati mereka ke distrik yang menjadi tujuan kedatangan kami. Sesekali  kami melewati beberapa kampung yang kondisi rumahnya sangat memprihatinkan dan anak-anak melambai-lambaikan tangan dengan senyuman polos kepada kami. Hal itu sudah biasa mereka lakukan ketika melihat orang berwajah baru melewati sungai tersebut. Kebanyakan dari mereka berbadan telanjang, ada juga yang hanya menggunakan celana dan ada juga dari mereka yang memiliki perut buncit, tidak seimbang dengan badannya.  Sayapun melambaikan tangan saya kepada mereka dengan mata berkaca-kaca.  Oh Tuhan sungguh sedih melihat mereka!
Jam 10.00 WIT, kami tiba di Ujungkia untuk berdiskusi dengan masyarakat di balai desa. Semua peserta yang datang adalah laki-laki. Rupanya, istri-istri dan anak-anak mereka yang saya temukan sedang mencari ikan di sungai ketika dalam perjalanan tadi . 
Pukul 2 siang saya kembali melalui sungai tersebut. Tak terbayangkan di benak saya bahwa saya akan menemukan perempuan dan anak-anak yang tadi jam 9 saya ketemu. Pikiran saya mengatakan pasti mereka sudah pulang dengan hasil tangkapannya dan menyiapkan makanan bagi keluarganya. Kenyataannya  sangat berbeda, saya kembali bertemu dengan mereka di selang waktu jam 2 - 3 siang.  Oh Tuhan, apakah ibu dan anak-anak ini sudah makan? Jam begini harusnya mereka sudah makan siang. Apakah mereka belum mendapatkan ikan?  Berbagai pertanyaan timbul di benak saya.
Saya lalu meminta motoris untuk berhenti.  Saya memanggil mereka mendekat ke speed boad.   Para ibu  mendayungkan perahu begitu cepat ke arah kami dengan wajah penuh senyum.  Sekitar 6 perahu mendekat mengelilingi speed boad kami. Saya begitu terkejut karena melihat bayi berusia 4 bulan dan 11 bulan di dalam perahu-perahu itu. Saya lalu mendokumentasikan bayi-bayi dari suku Awuyu tersebut bersama ibu dan saudara-saudaranya serta membagi-bagi makanan ringan dan recehan rupiah kepada meraka.
Begitu sedih hati saya melihat  mereka belum makan siang.  Saya lalu bertanya kepada mereka; apakah ada yang sudah mendapatkan ikan? Hanya 1 perahu yang mendapat ikan kerapuh berukuran sedang selebar telapak tangan saya. Pemancing yang lainnya cuma mendapat udang dan ikan kecil yang jumlahnya tidak lebih dari lima. Ternyata kearifan lokal untuk menangkap ikan berukuran besar itu ada pada laki-laki meraka. Ketika laki-laki sudah tidak lagi mencari ikan, maka perempuan harus beradaptasi dengan kemampuannya menangkap ikan sambil menjaga anak-anak di atas perahu. Bagaimana mereka bisa leluasa menangkap ikan dengan bebas seperti laki-laki? Para perempuan ini hanya bisa duduk berjam-jam di atas perahu dan berharap pada mata kaelnya. Semoga ada mujizat dari Tuhan atas mata kaelnya. Dalam pikiranku; bagaimana mereka dapat bergerak dengan leluasa seperti cara laki-laki mereka menangkap ikan? Ketika mereka bergerak pasti perahu itu akan terbalik bersama anak-anak. Hal ini menunjukkan bagaimana perubahan peran laki-laki ke ranah publik di luar rumah berdampak pada marjinalisasi perempuan dan anak-anak.  
Terlihat sangat jelas bagaimana pembagian peran gender yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki banyak berurusan dengan masalah publik sedangkan perempuan melakukan kegiatan domestik memelihara anak. Tetapi bagaimana dengan urusan makan-minum  anak-anak jika laki-laki kebanyakan berurusan dengan masalah publik di luar rumahnya. Siapa yang menjaga anak-anak itu? Siapa yang mencari makan untuk mereka?  Ternyata perempuan-perempuan ini membawa anak-anaknya di perahu sambil mencari ikan karena tidak ada yang mencari makanan  dan menjaga anak-anaknya itu.  Tidak mungkin ibunya membiarkan mereka sendirian dan  kelaparan. Menjaga anak di atas perahu sambil mencari ikan adalah strategi perempuan Awuyu dalam beradaptasi dengan perubahan peran laki-laki yang lebih banyak di luar rumah.
Sungguh, mereka adalah perempuan-perempuan perkasa! Asupan gizi anak-anak ini ada di tangan ibunya.  Kualitasnya secara Intelegensi ada di tangan ibunya juga. Tetapi tidak disadari bahwa dampaknya adalah ibu tersebut mengalami kelebihan beban kerja, yang bisa saja mempengaruhi usia harapan hidup yang rendah dibandingkan laki-laki. 
Sebuah perjuangan hidup, bagaimana perempuan-perempuan Awuyu mempertaruhkan hidupnya hanya untuk mempertahankan eksistensi  keluarganya. Perjuangan ini membuat perempuan-perempuan suku Awuyu ini sangat  layak disebut pahlawan rumahtangga tanpa tanda jasa.  Mereka berjuang tanpa memikirkan status kesehatan dirinya demi suami dan anak-anaknya.  
Persoalan besar yang harus ditanggung para stakeholders pembangunan, lebih khusus pemerintah, adalah bagaimana memberdayakan mereka dan tidak membuat program yang bias gender, hanya melibatkan laki-laki saja.  Dalam kasus seperti ini (yang banyak terjadi di daerah pedalaman Papua) semakin banyak laki-laki dilibatkan dalam program-program pembangunan di ranah publik, maka perannya sebagai pencari nafkah utama  (kegiatan berladang dan menangkap ikan) digantikan oleh perempuan. 
Pemerintah harus mendesain program yang responsif gender sehingga tidak merugikan kaum perempuan.  Namun yang menjadi kendalanya adalah banyak perencana-perencana pembangunan yang blinded gender, sehingga belum mampu menyusun program-program berbasis gender yang berlandaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan dari segi akses, peran atau partisipasi, kontrol atau pengambilan keputusan dan manfaat yang sama.  Jika mereka berdaya secara pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan maka tidak mungkin mereka memilih pekerjaan yang membebankan mereka.  Satu hal yang perlu diingat bahwa “Kualitas hidup  perempuan Papua akan menentukan kualitas generasi  Papua di masa depan. Artinya kualitas hidup yang baik pada perempuan Papua akan menentukan suksesnya pembangunan di Papua”. Oleh karena itu upaya pemberdayaan perempuan Papua harus diprioritaskan.





Kamis, 08 Mei 2014

Ketika peng-Injil menjadi guru dan gereja menjadi sekolah. Apakah kebijakan otonomi khusus berhasil bagi orang Papua?



 2 April 2014, saya tiba di Kabupaten Sarmi Provinsi Papua, setelah menempuh perjalanan kurang lebih 5 jam menggunakan mobil Avansa dari Kabupaten Jayapura. Kemudian saya melanjutkan perjalanan menggunakan motor ojek melewati beberapa sungai, menuju daerah pantai Barat Sarmi. Sesampai di muara sungai Waim, saya harus meninggalkan motor ojek dan menyeberang menggunakan sebuah perahu. Setelah sampai di seberang sungai tersebut, saya kemudian menggunakan mobil ranger milik perusahaan PT BBU (Bina Balantak Utama) menuju Kampung Samorkena, Distrik Apawer Hilir. Perjalanan ini ditempuh selama kurang lebih 1,5 jam ke arah gunung atau selatan pantai Barat Sarmi. Saya menemukan pemandangan bukit demi bukit yang tak pernah kulihat sepanjang perjalanan dari ibu kota Sarmi.
Saya disambut hangat dengan senyuman para orang tua dan anak-anak yang tinggal di kampung itu. Namun ada sebuh pemandangan yang menarik perhatian saya, yakni sebuah rumah gubuk berukuran kecil. Saya bertanya: itu rumah apa? Serentak anak-anak itu menjawab: “itu sekolah dan gereja kami.” Saya tertarik ingin melihat dari dalam seperti apa sekolah mereka. Saya mencari pintu masuk sekolah tersebut, tetapi tidak ada pintunya. Ternyata sekolahnya tidak ada dinding dan tampak seperti gambar di atas  ini.
Hati saya sakit melihat kondisi pendidikan di daerah pedalaman Papua seperti begini! Hanya bisa meneteskan air mata ketika melihat keadaan anak-anak ini bersekolah, bahkan terlebih lagi ketika saya mendapatkan guru mereka yang adalah seorang peng-injil, yang melayani tanpa digaji. Dia adalah seorang anak Papua, peng-injil dan guru, yang selain mengajar anak-anak bagaimana cara membaca dan berhitung, juga mengajarkan tentang bagaimana beriman kepada Tuhan. Dalam hati saya berkata “hanya guru-guru seperti beginilah yang bisa membuat pendidikan di Papua berhasil.” Pendidikan di Papua memerlukan guru-guru yang melayani dengan kasih!
Seringkali pemerintah kita kurang memberi perhatian kepada lembaga-lembaga gereja yang ada di Papua, padahal peran mereka di dalam masyarakat Papua sangat nyata. Dalam situasi seperti inilah, contohnya ketika tangan pemerintah sudah kurang panjang untuk menjangkau masyarakat dan mata pemerintah sudah kurang tajam untuk melihat masyarakat sampai ke pelosok kampung-kampung, justru di situlah terlihat peran aktif tokoh-tokoh agama yang  ikut memperpanjang tangan pemerintah untuk mendidik dan membina orang Papua yang ada kampung-kampung. Sangat disayangkan jika mereka ini kurang diberi perhatian oleh pemerintah.
Saya hanya bisa bersyukur karena diijinkan Tuhan tiba dan melihat keadaan daerah ini (Distrik Apawer Kabupaten Sarmi). Hal ini memberikan pelajaran berharga bagi saya bahwa saya harus bersyukur lahir dari orang tua yang masih bisa menyekolahkan saya. Bagaimana dengan mereka? Keadaan ini membuka mata hati saya bahwa masih banyak saudara-saudara saya di pedalaman Papua yang juga jauh dari kualitas pendidikan yang memadai. Tempat ini hanyalah sebuah contoh yang bisa menggambarkan situasi pendidikan di daerah pedalaman Papua. Banyak guru dan murid sulit dan bahkan belum mendapat akses pelayanan pemerintah berupa sarana-prasarana pendidikan yang yang lebih baik.
Ingin rasanya menolong mereka namun tak ada daya. Saya hanyalah seorang pengajar yang menjadi buruh di ladang pendidikan milik pemerintah, saya bukan pengambil keputusan utama yang menentukan kebijakan pendidikan di daerah ini. Dimana implementasi kebijakan otonomi khusus yang katanya bisa memerdekakan orang Papua dari pendidikan, kesehatan dan ketertinggalan? Otsus hanyalah sebuah mimpi belaka bagi masyarakat terpencil. Kebijakan itu hanyalah ibarat pedang bermata dua yaitu   di satu sisi membuat makmur para pengambil kebijakan yang akhirnya sebagian dari mereka tertangkap juga karena korupsi, di sisi lain
memiskinkan masyarakat kecil. Hal ini menjadi pertanyaan tersendiri yang harus dijawab oleh kita. Apakah otonomi khusus memberi jalan keluar bagi kemajuan Papua terutama di sektor pendidikan? Kita tidak bisa membantah kalau memang Otonomi Khusus tidak memberikan hasil yang maksimal bagi kemajuan rakyat Papua.