Perempuan Papua

Perempuan Papua

Kamis, 02 Oktober 2014

Program penanggulangan HIV dan AIDS belum sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik

Saya merasa beruntung dapat mengikuti Forum Nasional ke V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia yang diselenggarakan oleh Universitas Padjadjaran selama 2 hari pada tanggal 24 dan 25 September 2014 di Trans Luxury Hotel Bandung.  Fornas ini  diikuti oleh 7 kelompok kerja kebijakan kesehatan. Salah satu di antanya adalah Kelompok Kerja Kebijakan HIV dan AIDS dimana saya menjadi salah satu pesertanya.  Kelompok kerja kebijakan HIV dan AIDS ini dihadiri oleh para pemangku kepentingan seperti pelaku, perumus, peneliti, pemerhati dan akademisi di bidang kebijakan HIV dan AIDS.   Salah satu tujuan pertemuan ini adalah menyajikan hasil penelitian terkait dengan upaya penanggulangan AIDS dan sistem kesehatan dengan issue  penting yang dibahas adalah Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS. Ada 7 makalah yang di presentasikan terkait  membahas Tata kelola program penanggulangan HIV dan AIDS yang baik.
Melalui seminar ini telah menunjukkan bahwa sejauh ini, tata kelola program penanggulangan HIV dan AIDS belum sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Misalnya prinsip transparansi, kesetaraan dan pengawasan, efisiensi dan efektifitas serta penegakan hukum. Hasil riset Asa Simplexius menunjukkan lemahnya sosialisasi Perda tentang HIV dan AIDS menjadi penyebab ketidak-efektifan suatu perda HIV dan AIDS. Masyarakat seharusnya dilibatkan dalam sosialisasi pra legislasi yaitu sejak suatu PERDA dirancang, sosialisasi legislasi atau pasca legislasi yaitu sosialisasi content dan stucture materi, serta sosialisasi kontinuum/ reguler dimana sosialisasi secara kontinyu dan berlanjut sampai pada efek culture of low yaitu menghasilkan perilaku baru yang membudaya sehingga menciptakan  ketaatan  yang sukarela dan kontiunum terhadap suatu perda. Susanthi Esthi juga mempertegaskan bahwa program penanggulangan HIV dan AIDS pada populasi kunci lebih bersifat temporal/ proyek sehingga yang dicapai hanya perubahan pengetahuan tanpa mengejar perubahan perilaku. Akibatnya menciptakan suatu kondisi ketergantungan terhadap program atau menghasilkan efek sesaat dalam merespon suatu program penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh karena itu sosialisasi pencegahan HIV dan AIDS seharusnya dimulai pada usia dini atau sekolah dengan tujuan membentuk mental dan karakter serta perilaku aman untuk dapat melindungi diri dari HIV dan AIDS.  Hasil riset Sewdas Ranu, dkk, menyatakan bahwa keterlibatan  peran publik begitu penting dalam mendukung  penanggulangan HIV dan AIDS. Selama ini publik kurang dilibatkan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS khususnya dalam sistem perencanaan daerah, misalnya LSM, akademisi, konsultan dan organisasi profesional  tidak dilibatkan dalam Musrembang sehingga perencanaan kurang berbasis data dan fakta.  
Riset yang dilakukan Siregar Y.M. Adiatma menunjukkan prinsip tata kelola efiensi dan efektifitas perlu diperhatikan dalam penganggulangan HIV dan AIDS dengan memberikan sosialisasi yang kuat kepada ODHA dan  penyelenggara penanggulangan HIV dan AIDS. Menurutnya sebelum pemberian ART, biaya pengobatan ODHA didominasi oleh biaya  tes laboratorium (>65%), dan setelah inisiasi ART, oleh obat antiretroviral (≥60%). Biaya rata-rata per pasien menurun seiring dengan berjalannya perawatan. Tingkat CD4 Cell counts yang lebih tinggi saat dimulainya perawatan diasosiasikan dengan biaya tes laboratorium dan perawatan infkesi oportunistik yang lebih rendah. Biaya transportasi mendominasi biaya pasien dalam mengakses layanan HIV (>40%).  Hal ini berarti dengan mengkonsumsi ATR, seorang ODHA akan mampu menekan biaya infeksi oportunistik dan biaya pasiens dalam mendapatkan layanan dan hanya mengeluarkan biaya transportasi. Untuk itu, akses terhadap ART harus lebih dekat dengan masyarakat sehingga dapat menekan biaya transportasi.  Kurniawan Rachmadi menyakatan bahwa  Peran ARV sekarang ini sangat penting, terbukti bermanfaat. Namun tidak semua ‘gold standart’ sebuah pedoman pengobatan dapat lansung diterapkan. Menurutnya efek samping sebuah kebijakan dapat terjadi. Oleh karena itu perlu kehati-hatian dalam menyusun dan menerapkan kebijakan obat ARV dan perlu komunikasi yang transparansi  yang baik tentang efeksamping suatu kebijakan  antar stakeholder. 
Riset Riziyani Shanti, dkk menyoroti posisi KPAD yang dianalogikan sebagai anak tiri. Walaupun ketua KPA provinsi adalah gubernur, namun KPA Provinsi bukanlah bagian dari struktur organisasi pemerintah daerah. Sebagai Anak tiri, KPA provinsi merasa sulit ketika harus mengkoordinir SKPD yang merupakan bagian dari organisasi pemerintah daerah (dianalogikan sebagai anak kandung) untuk penanggulangan AIDS di daerah.  Penelitian ini menunjukkan bahwa posisi KPAD masih problematis dan penanggulangan AIDS di daerah masih sangat bergantung pada peran pimpinan tiap SKPD yang menjadi anggota KPA. Dengan demikian Penguatan posisi KPA perlu dilakukan untuk lebih mendukung tata kelola penanggulangan AIDS yang efektif.
Hasi Riset Okta Siradj tahun 2013 telah menyeroti pelaksanaan  prinsip tata kelola penganggulangan HIV dan AIDS tentang Penegakan hukum. Secara global, eksistensi Kriminalisasi penularan HIV diakui memberi disinsentif pada strategi penanggulangan AIDS.  Faktanya, studi terhadap 18 Undang-Undang dan 4 Peraturan Daerah menunjukkan adanya kriminalisasi terkait penularan HIV di Indonesia, disamping adanya pasal penganiayaan dalam kitab undang-undang hukum pidana yang representatif terhadap penularan HIV. Sebagai hukum positif, kriminalisasi memiki keniscayaan konsekuensi pembuktian. Tanpa forensik HIV, pengadilan tidak dapat membuktikan bahwa penularan terjadi dari terdakwa kepada korban. Namun, forensik HIV seperti pemanfaatan phylogenetic analysis memerlukan standar yang ekstensif agar memiliki kualifikasi pembuktian di pengadilan.  Pemangku kepentingan kebijakan AIDS nasional perlu mempertimbangkan inklusi forensik HIV dalam regulasi dan anggaran dalam mengantisipasi penerapan pasal pidana atas penularan HIV. Penguatan kelembagaan eksekutif di tingkat penyidikan maupun yudiktif di tingkat pengadilan terkait forensik HIV perlu dilakukan secara nasional. Lembaga yudikatif melalui hakim pidana dengan sistem pembuktian negatif perlu dikawal oleh masyarakat sipil. Pemantauan keberhasilan forensik HIV merupakan modal advokasi dekriminalisasi dalam kebijakan penanggulangan AIDS nasional.
Penerapan prinsip tata kelola penanggulangan HIV dan AIDS yang baik akan menjamin  keberhasilan penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat daerah dan nasional. Namun berdasarkan seminar ini telah menjawab berbagai persoalan yang dihadapi dalam pelaksanaan tata kelola penanggulangan HIV dan AIDS yang baik. Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota implementasi prinsip ini pada kenyataannya masih bervariasi. Tata kelola program penanggulangan HIV dan AIDS belum sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Berbagai upaya  dan peran kepemimpinan nasional, sektor, daerah, lembaga, kelompok-kelompok masyarakat baik di tingkat pembuat kebijakan sampai ke tingkat pelaksana masih sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya prinsip tata kelola upaya penanggulangan HIV dan AIDS pada semua tingkatan.

Sabtu, 10 Mei 2014

Perjuangan Hidup Perempuan-Perempuan Papua Suku Awuyu di Sebuah Anak Sungai Digoel (Menangkap ikan sambil menjaga anak)



Pada 18 September 2013 saya  bersama team tiba di kota Tanah Merah, ibu kota Kabupaten Boven Digoel, setelah menempuh perjalanan dari Merauke kurang lebih 9 jam. Tidak terbayangkan dalam pikiran saya bahwa akhirnya saya bisa sampai di tempat pembuangan (penjara) wakil presiden pertama,  M. Hatta yang saya tahu dalam pelajaran sejarah waktu masih belajar di  SMP.
Selama seminggu kami  menggunakan mobil hartop mengunjungi beberapa distrik yang menjadi daerah pengamatan kami, mulai dari Tanah Merah, menuju distrik Arimob, Iniyandit, Mindiptana, Waropko dan Kombut. Sesudah itu kami melanjutkan perjalanan melalui Distrik Sesnuk menuju tiga distrik yang berada di pinggiran sungai digoel yaitu distrik Jair  (kampung Getentiri), Subur dan Ujungkia.  Karena waktu telah larut malam maka kamipun beristirahat di sebuah penginapan di Jair untuk mempersiapkan diri karena besok pagi kami harus berangkat ke Distrik Ujungkia dan singgah di distrik Subur menggunakan sebuah speed boad melewati sungai digoel.
Cuaca pagi itu begitu mendukung.  Jam tangan saya menunjukkan pukul 07.00 WIT. Matahari pagi bersinar berkilauan di atas air sungai Digoel yang telihat begitu jernih tetapi menyilaukan mata. Kamipun menuju distrik Ujungkia melewati beberapa tikungan dinding sungai, melewati sebuah pulau yaitu pulau Terek dan berputar haluan ke kanan memasuki muara sungai Kia.  Perjalan sampai ke muara memakan waktu 2 jam tepat pada jam 09.00 WIT.
Kami mulai  memasuki muara Kia  yang lebarnya hanya berkisar 10 - 25 meter, di pinggiran sungai dipenuhi oleh pohon nipah serta warna air yang keruh sehingga kami tak bisa melihat benda apapun di dasar sungai tersebut. Sesekali speed baod kami seakan mau terbalik karena menabrak dahan pohon yang tenggelam di dasar sungai itu.  Hal itu membuat hati saya sedikit goyah dan ada teriakan kecil memanggil “Tuhan Tolong!”  Anehnya lagi ekspresi kegugupan saya ditertawai oleh motoris yang membawa kami ke sana.  Dalam hati saya berkata “ Pace ko biasa saja ka! Mentang-mentang berpengalaman jadi tertawa terus, tra lama ikan lompat masuk ke ko pu dalam mulut baru ko tau”  
Dalam perjalanan itu, saya mulai menemukan beberapa perahu tidak bersemang, yang diisi oleh 2 – 4 orang dengan memegang perlengkapan sederhana seperti jaring dan nelon. Semakin kami berjalan maju semakin banyak perahu yang kami temukan. Rupanya sungai Kia ini adalah satu-satunya sungai yang menyediakan   sumber protein berupa ikan, kepiting dan udang bagi masyarakat suku Awuyu  yang tinggal di kampung-kampung  pesisir sungai itu dan kebetulan waktu yang kami lalui adalah waktu-waktu yang biasanya mereka gunakan untuk mencari ikan.
Dalam hati saya bertanya; mengapa yang saya temui paling banyak (80%)  adalah para perempuan dan anak-anaknya?  Dalam satu perahu bisa diisi oleh tiga anak dan satu orang ibu.  Pertanyaan itu saya simpan dalam hati karena kami harus melewati mereka ke distrik yang menjadi tujuan kedatangan kami. Sesekali  kami melewati beberapa kampung yang kondisi rumahnya sangat memprihatinkan dan anak-anak melambai-lambaikan tangan dengan senyuman polos kepada kami. Hal itu sudah biasa mereka lakukan ketika melihat orang berwajah baru melewati sungai tersebut. Kebanyakan dari mereka berbadan telanjang, ada juga yang hanya menggunakan celana dan ada juga dari mereka yang memiliki perut buncit, tidak seimbang dengan badannya.  Sayapun melambaikan tangan saya kepada mereka dengan mata berkaca-kaca.  Oh Tuhan sungguh sedih melihat mereka!
Jam 10.00 WIT, kami tiba di Ujungkia untuk berdiskusi dengan masyarakat di balai desa. Semua peserta yang datang adalah laki-laki. Rupanya, istri-istri dan anak-anak mereka yang saya temukan sedang mencari ikan di sungai ketika dalam perjalanan tadi . 
Pukul 2 siang saya kembali melalui sungai tersebut. Tak terbayangkan di benak saya bahwa saya akan menemukan perempuan dan anak-anak yang tadi jam 9 saya ketemu. Pikiran saya mengatakan pasti mereka sudah pulang dengan hasil tangkapannya dan menyiapkan makanan bagi keluarganya. Kenyataannya  sangat berbeda, saya kembali bertemu dengan mereka di selang waktu jam 2 - 3 siang.  Oh Tuhan, apakah ibu dan anak-anak ini sudah makan? Jam begini harusnya mereka sudah makan siang. Apakah mereka belum mendapatkan ikan?  Berbagai pertanyaan timbul di benak saya.
Saya lalu meminta motoris untuk berhenti.  Saya memanggil mereka mendekat ke speed boad.   Para ibu  mendayungkan perahu begitu cepat ke arah kami dengan wajah penuh senyum.  Sekitar 6 perahu mendekat mengelilingi speed boad kami. Saya begitu terkejut karena melihat bayi berusia 4 bulan dan 11 bulan di dalam perahu-perahu itu. Saya lalu mendokumentasikan bayi-bayi dari suku Awuyu tersebut bersama ibu dan saudara-saudaranya serta membagi-bagi makanan ringan dan recehan rupiah kepada meraka.
Begitu sedih hati saya melihat  mereka belum makan siang.  Saya lalu bertanya kepada mereka; apakah ada yang sudah mendapatkan ikan? Hanya 1 perahu yang mendapat ikan kerapuh berukuran sedang selebar telapak tangan saya. Pemancing yang lainnya cuma mendapat udang dan ikan kecil yang jumlahnya tidak lebih dari lima. Ternyata kearifan lokal untuk menangkap ikan berukuran besar itu ada pada laki-laki meraka. Ketika laki-laki sudah tidak lagi mencari ikan, maka perempuan harus beradaptasi dengan kemampuannya menangkap ikan sambil menjaga anak-anak di atas perahu. Bagaimana mereka bisa leluasa menangkap ikan dengan bebas seperti laki-laki? Para perempuan ini hanya bisa duduk berjam-jam di atas perahu dan berharap pada mata kaelnya. Semoga ada mujizat dari Tuhan atas mata kaelnya. Dalam pikiranku; bagaimana mereka dapat bergerak dengan leluasa seperti cara laki-laki mereka menangkap ikan? Ketika mereka bergerak pasti perahu itu akan terbalik bersama anak-anak. Hal ini menunjukkan bagaimana perubahan peran laki-laki ke ranah publik di luar rumah berdampak pada marjinalisasi perempuan dan anak-anak.  
Terlihat sangat jelas bagaimana pembagian peran gender yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki banyak berurusan dengan masalah publik sedangkan perempuan melakukan kegiatan domestik memelihara anak. Tetapi bagaimana dengan urusan makan-minum  anak-anak jika laki-laki kebanyakan berurusan dengan masalah publik di luar rumahnya. Siapa yang menjaga anak-anak itu? Siapa yang mencari makan untuk mereka?  Ternyata perempuan-perempuan ini membawa anak-anaknya di perahu sambil mencari ikan karena tidak ada yang mencari makanan  dan menjaga anak-anaknya itu.  Tidak mungkin ibunya membiarkan mereka sendirian dan  kelaparan. Menjaga anak di atas perahu sambil mencari ikan adalah strategi perempuan Awuyu dalam beradaptasi dengan perubahan peran laki-laki yang lebih banyak di luar rumah.
Sungguh, mereka adalah perempuan-perempuan perkasa! Asupan gizi anak-anak ini ada di tangan ibunya.  Kualitasnya secara Intelegensi ada di tangan ibunya juga. Tetapi tidak disadari bahwa dampaknya adalah ibu tersebut mengalami kelebihan beban kerja, yang bisa saja mempengaruhi usia harapan hidup yang rendah dibandingkan laki-laki. 
Sebuah perjuangan hidup, bagaimana perempuan-perempuan Awuyu mempertaruhkan hidupnya hanya untuk mempertahankan eksistensi  keluarganya. Perjuangan ini membuat perempuan-perempuan suku Awuyu ini sangat  layak disebut pahlawan rumahtangga tanpa tanda jasa.  Mereka berjuang tanpa memikirkan status kesehatan dirinya demi suami dan anak-anaknya.  
Persoalan besar yang harus ditanggung para stakeholders pembangunan, lebih khusus pemerintah, adalah bagaimana memberdayakan mereka dan tidak membuat program yang bias gender, hanya melibatkan laki-laki saja.  Dalam kasus seperti ini (yang banyak terjadi di daerah pedalaman Papua) semakin banyak laki-laki dilibatkan dalam program-program pembangunan di ranah publik, maka perannya sebagai pencari nafkah utama  (kegiatan berladang dan menangkap ikan) digantikan oleh perempuan. 
Pemerintah harus mendesain program yang responsif gender sehingga tidak merugikan kaum perempuan.  Namun yang menjadi kendalanya adalah banyak perencana-perencana pembangunan yang blinded gender, sehingga belum mampu menyusun program-program berbasis gender yang berlandaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan dari segi akses, peran atau partisipasi, kontrol atau pengambilan keputusan dan manfaat yang sama.  Jika mereka berdaya secara pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan maka tidak mungkin mereka memilih pekerjaan yang membebankan mereka.  Satu hal yang perlu diingat bahwa “Kualitas hidup  perempuan Papua akan menentukan kualitas generasi  Papua di masa depan. Artinya kualitas hidup yang baik pada perempuan Papua akan menentukan suksesnya pembangunan di Papua”. Oleh karena itu upaya pemberdayaan perempuan Papua harus diprioritaskan.





Kamis, 08 Mei 2014

Ketika peng-Injil menjadi guru dan gereja menjadi sekolah. Apakah kebijakan otonomi khusus berhasil bagi orang Papua?



 2 April 2014, saya tiba di Kabupaten Sarmi Provinsi Papua, setelah menempuh perjalanan kurang lebih 5 jam menggunakan mobil Avansa dari Kabupaten Jayapura. Kemudian saya melanjutkan perjalanan menggunakan motor ojek melewati beberapa sungai, menuju daerah pantai Barat Sarmi. Sesampai di muara sungai Waim, saya harus meninggalkan motor ojek dan menyeberang menggunakan sebuah perahu. Setelah sampai di seberang sungai tersebut, saya kemudian menggunakan mobil ranger milik perusahaan PT BBU (Bina Balantak Utama) menuju Kampung Samorkena, Distrik Apawer Hilir. Perjalanan ini ditempuh selama kurang lebih 1,5 jam ke arah gunung atau selatan pantai Barat Sarmi. Saya menemukan pemandangan bukit demi bukit yang tak pernah kulihat sepanjang perjalanan dari ibu kota Sarmi.
Saya disambut hangat dengan senyuman para orang tua dan anak-anak yang tinggal di kampung itu. Namun ada sebuh pemandangan yang menarik perhatian saya, yakni sebuah rumah gubuk berukuran kecil. Saya bertanya: itu rumah apa? Serentak anak-anak itu menjawab: “itu sekolah dan gereja kami.” Saya tertarik ingin melihat dari dalam seperti apa sekolah mereka. Saya mencari pintu masuk sekolah tersebut, tetapi tidak ada pintunya. Ternyata sekolahnya tidak ada dinding dan tampak seperti gambar di atas  ini.
Hati saya sakit melihat kondisi pendidikan di daerah pedalaman Papua seperti begini! Hanya bisa meneteskan air mata ketika melihat keadaan anak-anak ini bersekolah, bahkan terlebih lagi ketika saya mendapatkan guru mereka yang adalah seorang peng-injil, yang melayani tanpa digaji. Dia adalah seorang anak Papua, peng-injil dan guru, yang selain mengajar anak-anak bagaimana cara membaca dan berhitung, juga mengajarkan tentang bagaimana beriman kepada Tuhan. Dalam hati saya berkata “hanya guru-guru seperti beginilah yang bisa membuat pendidikan di Papua berhasil.” Pendidikan di Papua memerlukan guru-guru yang melayani dengan kasih!
Seringkali pemerintah kita kurang memberi perhatian kepada lembaga-lembaga gereja yang ada di Papua, padahal peran mereka di dalam masyarakat Papua sangat nyata. Dalam situasi seperti inilah, contohnya ketika tangan pemerintah sudah kurang panjang untuk menjangkau masyarakat dan mata pemerintah sudah kurang tajam untuk melihat masyarakat sampai ke pelosok kampung-kampung, justru di situlah terlihat peran aktif tokoh-tokoh agama yang  ikut memperpanjang tangan pemerintah untuk mendidik dan membina orang Papua yang ada kampung-kampung. Sangat disayangkan jika mereka ini kurang diberi perhatian oleh pemerintah.
Saya hanya bisa bersyukur karena diijinkan Tuhan tiba dan melihat keadaan daerah ini (Distrik Apawer Kabupaten Sarmi). Hal ini memberikan pelajaran berharga bagi saya bahwa saya harus bersyukur lahir dari orang tua yang masih bisa menyekolahkan saya. Bagaimana dengan mereka? Keadaan ini membuka mata hati saya bahwa masih banyak saudara-saudara saya di pedalaman Papua yang juga jauh dari kualitas pendidikan yang memadai. Tempat ini hanyalah sebuah contoh yang bisa menggambarkan situasi pendidikan di daerah pedalaman Papua. Banyak guru dan murid sulit dan bahkan belum mendapat akses pelayanan pemerintah berupa sarana-prasarana pendidikan yang yang lebih baik.
Ingin rasanya menolong mereka namun tak ada daya. Saya hanyalah seorang pengajar yang menjadi buruh di ladang pendidikan milik pemerintah, saya bukan pengambil keputusan utama yang menentukan kebijakan pendidikan di daerah ini. Dimana implementasi kebijakan otonomi khusus yang katanya bisa memerdekakan orang Papua dari pendidikan, kesehatan dan ketertinggalan? Otsus hanyalah sebuah mimpi belaka bagi masyarakat terpencil. Kebijakan itu hanyalah ibarat pedang bermata dua yaitu   di satu sisi membuat makmur para pengambil kebijakan yang akhirnya sebagian dari mereka tertangkap juga karena korupsi, di sisi lain
memiskinkan masyarakat kecil. Hal ini menjadi pertanyaan tersendiri yang harus dijawab oleh kita. Apakah otonomi khusus memberi jalan keluar bagi kemajuan Papua terutama di sektor pendidikan? Kita tidak bisa membantah kalau memang Otonomi Khusus tidak memberikan hasil yang maksimal bagi kemajuan rakyat Papua.

Senin, 17 Maret 2014

Indentitas Gender (gender indentity) telah dibentuk sejak masa kecil melalui proses adaptasi seperti layaknya seorang anak belajar berbicara menggunakan bahasa ibu terlihat dari aktivitas yang dilakukan anak-anak perempuan Papua ini!

Mereka dilahirkan sebagai seorang laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin biologis. Tetapi, jalan yang membedakan mereka maskulin dan feminin adalah gabungan blog-blog bangunan biologis dasar  dan interpretasi biologis oleh kultur mereka.  Setiap masyarakat dalam sistem sosialnya memiliki berbagai scripts  untuk  diikuti oleh anggotanya.  Demikian juga masyarakat Papua, seperti mereka belajar memainkan peran feminin dan maskulin sebagaimana mereka  mempelajari  dan mempraktekkan bahasa mereka sendiri.
Gambar di samping sangat jelas menggambarkan bagaimana praktek-praktek aktivitas yang membedakan perempuan dan laki-laki telah terbentuk dari masa kecil.  Praktek-praktek  yang dilakukan anak perempuan tersebut  seakan menunjukkan  identitas gender mereka yaitu persepsi internal dan pengalaman mereka tentang gender, menggambarkan identifikasi psikologis di dalam otak mereka sebagai anak perempuan.  
Sejak mereka dilahirkan hingga menjadi usia tua,  meraka mempelajari dan mempraktikan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat  dalam sistem sosialnya  untuk menjadi laki-laki dan perempuan.  Seperangkat  perilaku  atau peran khusus ini  mencakup  bekerja di dalam dan di luar rumahtangga, tanggungjawab dalam rumahtangga,  yang kemudian  secara bersama-sama memoles peran gender kita dalam sistem masyarakat Papua.
Perempuan  telah diajarkan  dari kecil  melakukan urusan   memelihara, membersihkan, mengolah dan meyiapkan adalah  tanggungjawab perempuan. Hal ini diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan  mereka berada, yaitu memelihara anjing, babi, kebun, rumah, dan  anak. Perempuan yang membersihkan  peralatan tumahtangga,  pekarangan, memandikan  anak dan hewan peliharaan, membersihkan hasil tangkapan/buruan laki-laki,  memasak, mengestrak sagu, dll.    Sedangkan laki-laki berusan  dengan  memanah, menebang, menangkap.  Urusan tersebut diterapkan dalam kegiatan   berperang, berburuh,  menangkap ikan di laut, menebang kayu,  dan kemudian laki-laki juga bertanggungjawab dalam membuka lahan, menebang sagu, membangun rumah, dll.  Pekerjaan-pekerjaan tersebut lebih banyak dilakukan di luar rumah sehingga pekerjaan itu identik dengan peran laki-laki yang lebih dominan di sektor publik.
Perbedaan peran gender tersebut menjadi masalah ketika peran gender itu  menghasilkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan pada satu jenis kelamin  tertentu yang biasanya adalah perempuan.  Mereka yang berjenis kelamin laki-laki memperoleh dan menikmati kedudukan yang lebih baik sehingga perempuan menjadi tersubordinasi, termarjinalisasi, mendapat kekerasan,  beban ganda dan pelebelan/stereotyping yang negative terhadapnya.

Kamis, 06 Maret 2014

Diskriminasi Terhadap ODHA Menghambat Upaya Pencegahan HIV dan AIDS!

Perlakuan diskriminasi terhadap ODHA merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia.  Perlu kita ingat bahwa seorang ODHA tetaplah seorang manusia biasa yang juga mempunyai hak asasi. Dengan demikian ODHA mempunyai hak untuk hidup, hak untuk mendapat pelayanan dan perlakukan adil seperti layaknya manusia biasa.
Kenyataannya masih terjadi  perlakuan diskriminasi terhadap ODHA di Papua bahkan di dunia. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden pada tahun 2012 dan beberapa ODHA pada tahun 2013, kami menemukan contoh-contoh tindakan diskriminasi terhadap ODHA di masyarakat. Kasus tersebut antara lain;  (1) ditemukan terdapat mayat  ODHA yang tidak dimandikan atau dibersihkan dan langsung di kuburkan, (2) menguburkan mayat ODHA tidak melewati upacara doa pemakaman, tidak menggunakan peti mati dan dikuburkan pada waktu tengah malam oleh keluarganya secara tertutup (seperti menguburkan hewan yang mati) (3) menurut pengakuan ODHA, mereka merasa dijauhi oleh orang-orang yang telah mengetahui statusnya sebagai ODHA, (4) masih terdapat perlakuan diskriminasi  yang justru datang dari petugas kesehatan.
Menurut beberapa ODHA yang diwawancai,  perlakuan diskriminasi tersebut cenderung mengintimidasi mereka sehingga sulit baginya untuk membuka statusnya sebagai ODHA. Beberapa dari ODHA memutuskan untuk berdiam diri  dan tidak melakukan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan. Hal ini lebih diperparah lagi dengan pengakuan mereka bahwa terdapat juga beberapa  tenaga kesehatan, khususnya bagian pelayanan HIV/AIDS yang  tidak menjaga kerahasiaan status ODHA,  bahkan mereka menceritakan kepada sesama  tenaga kesehatan  lainnya, sehingga ODHA sering mendapat perlakuan diskriminasi dalam pelayanan kesehatan, khususnya pada saat mereka ingin melakukan pemeriksaan penyakit lainnya. Keadaan ini mendatangkan konsekuensi psikologis yang besar bagi  ODHA untuk dapat melihat diri mereka sendiri, yang kemudian akan membawa mereka pada keadaan depresi, kurang percaya diri dan putus asa. 
Perlakukan diskriminasi terhadap ODHA  di lingkungannya dan dalam mendapat pelayanan medis  merupakan suatu perlakukan yang menghambat upaya penanggulangan penyakit HIV/AIDS  di Papua  dan  Indonesia.   Oleh karena itu perlakuan diskriminasi  terhadap ODHA harus dihapuskan.  Namun penghapusan diskriminasi terhadap ODHA bukanlah hal yang mudah. Kita harus lebih dulu memahami faktor-faktor penyebab seseorang melakukan diskriminasi. Berbicara mengenai diskriminasi,  tentunya tidak terlepas dari faktor-faktor  psikologis yang mendorong seseorang untuk bertindak atau berperilaku  
Faktor-faktor psikologis tersebut adalah sikap yang negatif terhadap ODHA, motif atau dorongan yang timbul berdasarkan kebutuhan akan rasa aman dan kebutuhan akan hubungan dengan sesama, sistem kognitif yang tidak logis dan tidak kreatif dalam membuat suatu keputusan, sitem kepercayaan berupa HIV/AIDS dapat menular melalui kontak sosial biasa,  HIV/AIDS adalah penyakit orang berdosa seperti penyakit kaum homoseksual, penyakit bagi kaum pekerja seks dan para pengguna narkoba, HIV/AIDS merupakan kutukan dari Tuhan,  sehingga kepercayaan ini membentuk sikap negatif yang diekpresikan melalui perilaku penolakan dan diskriminasi.
Dibutuhkan kerja keras dari berbagai pihak khususnya pemangku kepentingan untuk mengurangi dan mencegah tindakan diskriminasi terhadap ODHA. Perlu diingat bahwa merubah perilaku bukanlah hal yang mudah dan instan. Sebagai solusi untuk menghapus diskriminasi terhadap ODHA dan membentuk perilaku non diskriminasi  adalah (1) dengan memberikan informasi yang lengkap  dan jelas tentang HIV/AIDS.   Dengan memberi pengertian yang jelas, diharapkan dapat merubah sikap, kepercayaan dan sistem kognitifnya, (2) membentuk perilaku dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku non diskriminatif khususnya pada petugas-petugas kesehatan atau pada pelaku-pelaku diskriminasi yang bukan dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan tentang penyakit HIV/AIDS.

Rabu, 05 Maret 2014

Kekerasan Terhadap Perempuan di Kabupaten Manokwari

Juli 2013,  saya pergi ke Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat  untuk mendapatkan data tentang kondisi kekerasan terhadap perempuan dan anak di kabupaten Manokwari.  Saya pergi ke sana sebab dinas inilah yang paling banyak menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dan memiliki sistem pencatatan yang cukup lengkap.  Saya mencoba merangkum data-data tersebut dalam sebuah tulisan tentang bagaimana situasi kekerasan terhadap perempuan di Kapubaten Manokwari.
Data kekerasan yang ditampilkan adalah tindak kekerasan yang dilaporkan dan tercatat pada tahun 2011 dan 2012.  Saya yakin kasus kekerasan yang tidak dilaporkan pasti lebih banyak dibandingkan yang dicatat atau dilaporkan.  Ada banyak faktor  yang menyebabkan mengapa kasus-kasus kekerasan tidak diangkat  ke permukaan dan diselesaikan melalui suatu lembaga yang berkompoten. Faktor-faktor tersebut antara lain;  intimidasi dari suami dan keluarganya terkait adanya persepsi budaya  yang menganggap aib jika masalah rumah tangga dibawah keluar ke ranah publik atau lebih menjaga nama baik rumah tangga dan suaminya, ketergantungan ekonomi pada suami atau laki-laki dan rasa ketakutan terhadap laki-laki terkait pemikiran  laki-laki sebagai makluk superior dan perempuan sebagai makluk inferior, kurang sosialisasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga,  pengetahuan yang rendah tentang cara advokasi korban kekerasan, hambatan lingkungan geografis, ketersediaan sarana prasarana, dll.
Tingkat Kekerasan Terhadap Perempuan
Jumlah korban kekerasan pada tahun 2011 sebanyak   21 orang meningkat menjadi 28 orang di tahun 2012. Demikian juga jumlah pelaku kekerasan sebanyak 22 orang  meningkat menjadi 32 orang pada tahun 2012. Sebagian besar korban kekerasan adalah perempuan sedangkan pelaku kekerasan adalah laki-laki.  Laki-laki sebagai pelaku kekerasan berkaitan dengan sifat agresivitas laki-laki  serta pemahaman yang keliru terhadap perempuan sebagai makluk inferior dan laki-laki sebagai mahluk superior sehingga  boleh menguasai perempuan dan memperlakukan perempuan semaunya. 
Bentuk kekerasan yang umumnya terjadi pada perempuan adalah  kekerasan  fisik  dan psikis. Perempuan sering menjadi objek kekerasan yang dilakukan laki-laki karena faktor emosi atau sifat sang pria yang temperamental.  Menurut  ahli psikologi  Kasandra Putranto (2008) "seseorang melakukan kekerasan karena adanya sebuah distribusi kekuatan yang tak seimbang,  misalnya yang laki-laki kuat perempuan lemah".
Data  menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan lebih besar dari jumlah pelakunya. Artinya setiap pelaku melakukan bentuk tindak kekerasan berlapis.  Dengan demikian perempuan mendapat lebih dari satu bentuk kekerasan, atau   laki-laki tidak hanya melakukan kekerasan fisik atau psikis semata namun ada indikasi laki-laki melakukan  lebih dari satu bentuk kekerasan secara bersama-sama terhadap perempuan.  Kekerasan ini merujuk pada tingkah laku yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor internal pelaku (sifat, motif, intensi)  dan  oleh faktor eksternal (aspek fisik dan sosial budaya) pelaku  dan bisa dipengaruhi oleh  kombinasi dari keduanya.
Karekteristik Korban Kekerasan
Sebagian besar perempuan korban kekerasan berumur lebih dari 18 tahun atau dalam kategori kelompok umur dewasa dan diikuti oleh umur 12 – 18 tahun  dan umur kurang dari 12  tahun.  Kekerasan yang terjadi pada anak perempuan  berumur kurang dari 18 tahun pada umumnya adalah kekerasan seksual.  Apabila anak  perempuan mendapat kekerasan seksual maka akan diikuti dengan kekerasan psikis yang sangat mengganggu perkembangan mentalnya.   Kekerasan seksual yang terjadi pada seorang perempuan dikarenakan sistem tata nilai yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki; perempuan masih ditempatkan dalam posisi subordinasi dan marginalisasi yang harus dikuasai, dieksploitasi dan diperbudak laki-laki dan juga karena perempuan masih dipandang sebagai second class citizens.   Selain itu mengutip E. Kristi Poerwandari (2000), perkosaan adalah tindakan pseudo-sexual, dalam arti merupakan perilaku seksual yang tidak selalu dimotivasi dorongan seksual sebagai motivasi primer, melainkan berhubungan dengan penguasaan dan dominasi, agresi dan perendahan pada satu pihak (perempuan) oleh pihak lainnya (laki-laki) misalnya dari segi usia yang masih kecil dan perempuan yang lemah.
Kekerasan bisa menimpa siapa saja tak mengenal tingkat pendidikan. Perempuan korban kekerasan memiliki tingkat pendidikan yang menyebar bervariasi mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi.  Korban yang berpendidikan SMA dan Perguruan Tinggi pada umumnya mengalami kekerasan fisik, psikis dan ekonomi sedangkan sebagian besar korban yang berpendidikan SD dan SMP adalah korban kekerasan seksual berupa pemerkosaan dan percabulan.  Hal ini menunjukan bahwa tinggi rendahnya pendidikan tidak menuntukan tinggi rendahnya seseorang menjadi korban kekerasan.
Sebagian besar korban kekerasan dialami oleh perempuan yang tidak bekerja.  Hal ini menunjukkan bahwa perempuan yang  tidak bekerja  lebih berpeluang mendapat tindak kekerasan dibandingkan perempuan yang bekerja.   Penyebab kekerasan  dalam rumah tangga diduga  karena perempuan tidak memiliki pekerjaan, sehingga tidak dihargai oleh suami,  selain itu karena ketergantungan ekonomi pada laki-laki sehingga suami merasa bisa menguasai, memerintah  dan mengatur kehidupan  istrinya.  Data lain juga menunjukan perempuan yang bekerja juga mendapat kekerasan dari laki-laki.  Hal ini lebih banyak disebabkan faktor kecemburuan laki-laki terhadap perempuan dan didukung oleh  sifat laki-laki yang cenderung agresif.
Hasil penelitian Purwaningsih (2008)  juga menunjukkan perempuan yang mengalami korban kekerasan dalam rumah tangga umumnya disebabkan  kurangnya komunikasi antara suami dan istri, tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga, kesalahan istri, ketidakmampuan suami secara ekonomi, adanya perselingkuhan yang dilakukan suami, pengaruh minuman keras dan akibat adanya kawin paksa dari pihak keluarga.
 Data menunjukan bahwa sebagian besar korban kekerasan memiliki hubungan keluarga dengan pelaku,  yaitu sebagai  keluarga korban kekerasan menempati urutan pertama,   disusul dengan pelaku sebagai pihak yang lainnya dan diikuti dengan pelaku sebagai orang tua korban.  Kekerasan yang terjadi berdasarkan hubungan korban dengan pelaku berkaitan dengan urusan dalam rumah tangga yang menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga.  Sedangkan hubungan korban dengan lainnya dan dengan orang tuanya memiliki bentuk kekerasan seksual dan terjadi pada anak perempuan.