Perempuan Papua

Perempuan Papua

Minggu, 16 Oktober 2016

Strategi survive suku Maybrat (Pengetahuan Lokal dalam Berburu dan Menangkap Ikan)

Hari itu, Sabtu tanggal 9 Agustus 2015.  Saya beserta team peneliti sosial budaya mengunjungi wilayah Kabupaten Maybrat yang secara kebetulan  merupakan daerah dimana  saya berasal.  Terdapat beberapa lokasi yang  kami  lakukan wawancara, yaitu Kampung Ayawasi, Konja, Kisor, Kamat, Ayata, Fategomi, Yaksoro, Jitmau,  Mapura, Sauf, Seni dan Suswa.  Saya senang karena hampir 80 persen wilayah Kabupaten Maybrat telah saya lalui dan saya tidak mendapat kesulitan dalam mewawancarai masyarakat adat di sana karena pada  dasarnya mereka adalah orang-orang yang sangat welcome  dan aktif dalam berdiskusi.

Kebetulan, saya disuruh  membahas bagaimana masyarakat Maybrat bisa survive pada zaman dahulu sebelum mereka mengenal budidaya pertanian atau masih bermatapencaharian sebagai Peramu.  Hal yang menarik bagi saya yaitu pada saat saya  menanyakan bagaimana cara mereka memenuhi kebutuhan  protein hewani? Mereka menjawab dengan cara berburu atau menangkap ikan di sungai atau danau. Sayapun bertanya untuk menggali informasi bagaimana pengetahuan tradisional masyarakat Maybrat dalam berburu dan menangkap ikan.  Ternyata  yang saya temukan ada 5 jenis jerat atau perangkap dalam berburu dan memiliki  beberapa  jenis alat penangkap ikan dan 4 jenis racun ikan atau udang.  

Hal yang memberatkan saya sebagai peneliti adalah ketika saya bertanya pada Kampung-Kampung yang sudah mulai terasimilasi dengan nilai-nilai modern. Karena merekapun tidak tahu dan sudah tidak pernah melakukan aktivitas berburu. Beda halnya dengan masyarakat yang masih melakukan aktivitas berburu dan menangkap ikan seperti di daerah Ayata, Konja, Seni dan Suswa. Mereka sangat antusias dalam bercerita dan  menunjukan peralatan berburu mereka. 

Namun kelemahan saya dalam penelitian ini adalah saya tidak berpartisipasi dengan mereka untuk melakukan dan melihat sendiri cara berburu mereka sehingga saya harus berimajinasi dengan cara  menggambar atau membuat sketsa bersama-sama dengan mereka.

Peralatan berburu orang Maybrat adalah  takri  yaitu bambu runcing atau gagar runcing untuk menikam babi serta menggunakan karef yaitu anak panah untuk membunuh rusa, kasuari, burung, dll.
Orang Maybrat juga mengenal beberapa jerat. Jerat babi, kasuari, rusa berbeda dengan jerat burung atau jerat tikus tanah.  Ada beberapa jenis jerat atau perangkap hewan  yang dikenal orang Maybrat antara lain
  • Kayah
Jerat kayah adalah  jerat dengan membuat lubang  tanah sedalam 2 – 3 meter dan menanam bambu runcing atau kayu tajam  di dalam lubang tersebut serta di atas lubang tersebut ditutupi oleh daun-daun atau rumput-rumputan. 
  • Susur
Jerat susur dilakukan dengan cara menanam  bambu runcing di bawah pagar kebun di tempat dimana babi biasanya masuk ke kebun tersebut. Biasanya pagar tempat babi melompat lebih rendah dari yang lain sehingga ketika babi melompat langsung mengenah susur tersebut

  • Poka 
Jerat yang dibuat menggunakan tali rotan dengan menggunakan simpul sehingga babi, kasuari, tikus tanah  ketika menginjak jerat tersebut langsung tali simpul tersebut mengikatnya. 
  •  Fonara
Fonara adalah jerat  burung yang dipasang di atas pohon dan memiliki tali sampai ke bawah pohon yang dipegang oleh pemburu. Ketika burung tersebut menginjakan kakinya pada jerat di atas pohon maka, pemburu segera menarik tali tersebut ke bawah beserta burung yang sudah terikat kakinya dengan tali.
  • Rie
Rie adalah jerat untuk burung yaitu menggunakan getah pohon sukun yang diolesi pada sebuah kayu berukuran 1 meter dan  kemudian kayu tersebut diletakan pada pohon tempat burung bermain. Ketika burung tersebut menginjak getah tersebut, ia tidak bisa lagi terbang tetapiterlengket pada jerat tersebut.

  Alat penangkap ikan
Mokor
Orang Maybrat menciptakan beberapa alat penangkap ikan yaitu perahu bagi yang  bermukim di sekitar danau dan Mokor  yang terbuat dari kulit kayu Melinjo di anyam berlumbang  menyerupai jala ikan  dan direkatkan  menggunakan rotan,    biasanya digunakan oleh perempuan. Ada juga alat penangkap ikan lainnya itu yaitu Watar. Watar atau bubu yang terbuat dari gagar yang diayam kerucut.  Bagian bulatnya ditutupi dengan anyaman rotan seperti jaring. Mokor diletakan pada air sungai dan kemudian mereka mengusir atau menepuk-nepuk air supaya ikan dapat masuk ke dalam bubu. Jika ikan tersebut telah masuk maka akan terperangkap dan tidak bisa keluar lagi. 

Jenis Racun Ikan


Orang Maybrat juga menangkap ikan dengan menggunakan racun ikan.  Ada empat jenis racun ikan yang mereka kenal yaitu (1)racun ikan akar tuba, (2)racun srah (kulit kayu), (3) racun tali omoref dan (4) racun faguoh (kulit kayu)

Kamis, 13 Oktober 2016

PERUBAHAN IKLIM DAN PEREMPUAN-PEREMPUAN SUKU KOMBAI - KOROWAI (suatu kasus yang mewakili kelompok Terisolir di Tanah Papua)

Sungai Digoel Saat Kemarau
Kamis, tanggal 28 Oktober 2015, tepat jam 11.00 WIT saya bersama teman saya terbang menggunakan pesawat kecil twin otter dari Tanah Merah ibukota Kabupaten Boven Digoel menuju tanah adat suku Kombai - Korowai di Distrik Yaniruma.  

Hari Sabtu, 30 Oktober 2015 saya dan teman saya dijadwalkan akan kembali ke Tanah Merah namun Tuhan memiliki rencana  yang berbeda dalam hidup saya.  Pesawat tidak bisa terbang karena kabut asap yang menutupi langit Yaniruma sehingga  penerbangan ditunda 1 minggu kemudian. Terpaksa saya dan teman saya memutuskan untuk  mengikuti jalan darat rute Distrik Yaniruma - Distrik Kombay, Distrik Bomakia -  Distrik Kouh dan kami  selanjutnya menggunakan speedboad menuju Tanah Merah selama kurang lebih 4 jam. 
Perjalanan Di Hutan Yaniruma

Siang hari tepat jam 1 siang kami memutuskan untuk berjalan kaki sampai pada jalan rentes yang dapat dilalui oleh motor ojek yaitu di  Kampung Dema Distrik Distrik Kombai.  Jarak garis lurus di GPS kami adalah 50 Km, namun karena kami harus berjalan menghindari sungai, rawa dan dusun sagu  maka jarak yang kami tempuh diperkirakan 60 Km.  Jarak yang cukup jauh bagi saya seorang perempuan yang lahir dan besar  di kota dan tidak terbiasa untuk berjalan kaki sejauh itu. 

Saya dan  teman saya Samsul Bachri  membawa 2 orang pemuda suku Kombai – Korowai sebagai guide untuk mengantarkan kami  berjalan  menabrak  lebatnya hutan suku Kombai – Korowai.  Kami berjalan kaki dari jam 1 siang hingga jam 6.30 malam barulah kami menemukan sebuah kampung yang sangat-sangat  terisolir, itulah  kampung “Avenda”.  
Saya bersama Anak usia sekolah tapi tidak menikmati Pendidikan

Waktu semakin larut malam. Kami harus mencari tempat untuk berteduh. Puji Tuhan, kami mendapatkan sebuah rumah panggung yang ditinggalkan pemiliknya ke ibukota Distrik, sehingga kami  dapat  melepas lelah dan meletakkan kepala kami sampai besok pagi. 

Masyarakat suku Kombai – Korowai ternyata sangat   terbuka kepada orang baru.  Mereka tahu bahwa kami lapar sehingga  mereka membawakan  5 gulung sagu sinoli untuk kami. Tidak menunggu waktu lama, kami berempatpun makan hanya dengan air putih. Kata seorang mama yang membuat sagu untuk kami, bahwa sekarang musim kemarau panjang jadi semua sungai tempat kami mencari ikan atau udang sudah kering.  Ternyata  mereka masih hidup sebagai peramu yang mengandalkan alam untuk menyedikan bahan makanan bagi mereka. Mereka tidak mengenal budidaya .  Makanan mereka hanya sagu, ikan atau udang dari sungai dan  daging hasil buruan.  Tetapi di musim kemarau ini, ketersediaan pangan rumah tangga jadi berkurang
Makanan Pokok Sagu Sinoli

Hal ini saya rasakan ketika mencari bekal untuk perjalanan kami.  Setiap rumah kami  masuki melalui 2 anak muda yang kami bawa, hampir semua rumah kami masuki hanya ingin membeli sagu, bahkan noken-noken sagu mereka  relatif habis. Kami hanya dapat 1 buah sagu sinoli untuk bekal  saya dengan teman saya. Saya bertanya kepada salah satu mama yang rumahnya saya masuki, bagaimana dengan persediaan makanan untuk hari ini? Mamanya menjawab, sagu ada di dusun, mama yang biasa tokok sagu. Mama biasa tidak tokok semua, mama tokok sedikit-sedikit untuk kita makan selama 2 atau 3 hari baru kemudian mama datang tokok sagu lagi.  Saya bertanya lagi, kenapa tidak tokok semua mama?  Jawaban yang polos saya dengar dari mulut mama itu, mama tidak bisa tokok semua, kalau bapa bantu boleh. Karena bapa tidak bantu jadi mama tokok sedikit-sedikit saja karena harus pikul.  Yach, benar juga kata mama, disesuaikan dengan kemampuan seorang perempuan. 

Saya bertanya lagi, pohon sagu banyak kah? Mama menjawab, sekarang musim kemarau jadi banyak pohon sagu yang terbakar. Berarti Mama harus berjalan kaki jauh lagi untuk mencari dusun sagu yang tidak terbakar. Sementara dusun sagu mereka bukan dikategorikan sebagai hutan sagu tetapi hanya spot-spot di tempat yang rendah atau pada celah-celah gunung saja dan tidak lebih dari 10 pohon per spot. Memang benar kata mama tadi, karena sepanjang perjalanan saya, saya melihat banyak dusun sagu yang terbakar tetapi areal yang terbakar adalah yang selalu ada aktivitas manusia atau dekat dengan kampung. Sedangkan areal hutan tidak terbakar. Maka saya dengan teman saya simpulkan bahwa kebakaran dusun sagu disebabkan oleh factor  aktivitas manusia. 
Dusun Sagu yang Terbakar

Terlepas dari semua itu, ternyata kelompok peramu seperti mereka inilah yang merupakan kelompok masyarakat yang paling merasakan efek negatif dari perubahan  iklim yang extrim. Atau dengan kata lain kelompok seperti inilah yang paling rentan terhadap kerawanan pangan ketika terjadi kekeringan yang berkepanjangan. Jumlah ketersediaan pangan mereka semakin berkurang apalagi jumlah yang dikonsumsi, mungkin sangat terbatas. Tetapi apakah pernah kita bertanya bahwa dari masyarakat peramu ini, manakah kelompok yang paling dirugikan  akibat perubahan iklim? Jawabannya adalah kelompok peramu yang berjenis kelamin perempuan. Karena mereka adalah tulang punggung keluarga yang bekerja mengurus anak sambil mencari makan maka mau dan tidak mau, mereka   harus tetap eksis dan beradaptasi dengan  perubahan lingkungan. Dampak dari itu, jarak mereka mencari makan semakin jauh, jumlah pangan yang dikonsumsi semakin sedikit bahkan tidak memiliki gizi yang seimbang, fisik mereka pasti menurun sehingga usia harapan hidup untuk perempuan pasti lebih rendah dibandingkan laki-laki. Tak mengherankan jika yang saya temukan di kampung tersebut  banyak   anak-anak Yatim yang hidupnya bersama dengan bapaknya dan mama tirinya karena ibunya meninggal saat melahirkan. 

Kalung taring gigi anjing, dipercaya dapat mengusir roh jahat
Memang banyak factor yang menyebabkan kematian para perempuan di sana relative tinggi. Tetapi saya menduga factor dominannya adalah beban kerja berlebihan yang tidak disertai dengan gizi yang seimbang, perkawinan di usia dini. Seorang ibu dalam kondisi hamil, masih menggendong anaknya sambil berjalan mencari makan apalagi disaat musim kering. Ditambah lagi  tidak ada fasilitas Pustu atau  tenaga medis.  Bahkan sekolahpun tidak ada. Air  mata jatuh dengan sendirinya ketika melihat perempuan-perempuan  dan anak-anak yang sakit tidak tahu harus kemana??  Mereka cuma bergantung pada pengobatan tradisional.  Mereka percaya bahwa sakit penyakit itu disebabkan oleh roh-roh jahat sehingga di leher mereka selalu dilingkari kalung dari gigi taring anjing yang mereka percayai  dapat mengusir roh-roh jahat.

Sedih rasanya meninggalkan mereka.   Mereka sudah menderita karena ketimpangan pembangunan yang tidak merata  dan juga mereka menjadi korban perubahan iklim yang mengancam  alam mereka yang menyediakan pohon sagu, sungai sebagai lumbung pangan  sehingga perubahan iklim berpengaruh pada perubahan status tahan pangan ke rawan pangan. Semoga pemerintah  Kabupaten Boven Digoel, Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah NKRI dapat melihat masalah mereka. Ini hanya satu kasus dari kelompok terisolir/primitive  yang hidupnya masih bergantung pada alam dan memiliki  beberapa nilai budaya yang sangat bias gender.  Yang jelas, kasus ini mewakili masalah banyak orang Papua yang termasuk dalam kelompok primitive atau terisolir yang memiliki nasib yang sama dengan mereka.  
Saya Bersama Masyarakat Suku Kombai - Korowai di tengah kabut asap
 
Saya hanya bisa memohon kepada pemerintah ataupun stakeholder pembangunan. Selamatkan mereka dari ketidak-adilan gender yang berpengaruh pada  beban perempuan  yang berat menyebabkan usia harapan hidup perempuan rendah, selamatkan mereka dari ketergantungan hidup terhadap alam? Karena alam  ini semakin berubah sangat extrim, merdekakan mereka dari pelayanan kesehatan dan pendidikan biar mereka juga bisa keluar dari lingkaran kemiskinan yang mengikat mereka. Karena semua orang punya hak asasi untuk hidup lebih baik lagi. 

Saya bersyukur karena ada maksud Tuhan sehingga  saya bisa melihat dan merasakan kehidupan  masyarakat terisolir/ primitive melalui berjalan kaki menyusuri hutan adat suku Kombai – Korowai sejauh 60 Km. Ada banyak hal yang saya temukan sebagai bahan masukan untuk tulisan-tulisan saya ke depan.  Karena jika kita menulis berdasarkan pengalaman kita, itu adalah suatu metode yang tidak dapat terbantahkan.

PERSEPSI PEREMPUAN- PEREMPUAN KOMBAI - KOROWAI TENTANG SUAMI? JAWABAN YANG SANGAT KONTRADIKSI DENGAN NILAI-NILAI KELUARGA


Kamis, tanggal 28 Oktober 2015, tepat jam 11.00 WIT saya bersama teman saya terbang menggunakan pesawat kecil twin otter dari Tanah Merah ibukota Kabupaten Boven Digoel menuju tanah adat suku Kombai - Korowai di Distrik Yaniruma.  Perjalanan memakan waktu  kurang lebih 20 menit. Dalam perjalanan itu, saya menikmati pemandangan sungai Digoel yang tampak rabun ditutupi embun dan air sungai yang terlihat menyempit. Ternyata pada saat  itu telah terjadi musim kemarau panjang yang menciptakan kabut asap.

Suku Kombai-Korowai, suku yang terkenal dengan rumah pohonnya dan hanya  saya dengar dari sebuah film berjudul LOST In Papua  karya Irham Acho Bachtiar.   Tidak disangka  dalam hidup saya, bahwa saya bisa diijinkan Tuhan untuk menjejakan telapak kakiku di tanah itu.  Seperti sebuah mimpi di siang hari.

Saya sempat berpikir bahwa mungkin saya bisa menemukan rumah pohon dan komunitas suku Korowai yang masih menggunakan koteka. Namun saya tidak melihat  itu di ibukota distrik. Saya lalu bertanya pada salah satu petugas medis di sana, Dimana rumah pohon itu? Kata petugas medis itu,  rumah pohon hanya ditemukan di kampung-kampung yang letaknya sangat jauh dari ibukota distrik ini.  Sayapun kecewa karena saya hanya menjangkau kampung-kampung di dekat ibu kota distrik. 

Namun ada hal-hal  menarik  yang saya dapati saat saya  mengunjungi beberapa kampung terdekat.  Saya menemukan beberapa kelompok perempuan yang duduk bersama dengan anak-anaknya sedang menambang batu kerikil untuk dijual ke kontraktor sebagai bahan bangunan. Tidak saya dapati seorang suami atau laki-laki yang membantu mereka selain anak-anak mereka. Hal ini membuat tergerak hati saya ingin bertanya dimana suami mereka? Sayapun bertanya kepada mereka. Jawab perempuan-perempuan itu, bapa ada di rumah? lalu saya bertanya, Bikin apa mereka di rumah? jawab perempuan-perempuan itu, Duduk-duduk saja di rumah. Ada  yang menjawab, bapa pamalas, tidak pernah bantu mama.
Ada juga yang bilang, bapa turun ke kota sudah 2 minggu karena lagi  urusan kampung.  wow!! dalam hatiku, hebatnya perempuan-perempuan ini. Dahulu mereka tidak bekerja sebagai penambang batu, tetapi kebutuhan pembangunan di Distrik mereka menuntut para perempuan ini harus menambah lagi satu daftar  aktivitas produksi mereka. Tanpa sadar, mereka bukan menjadi penikmat pembangunan, justru mereka menjadi korban dampak pembangunan di daerah mereka.

Mengapa tidak laki-laki saja yang bekerja sebagai penggali tambang batu? Tanpa sadar dampak pembangunan hanya menjadikan laki-laki sebagai penikmat pembangunan dari hasil istrinya. Dimana istrinya mendapat uang dari galian tambang namun uang tersebut dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan keluarga termasuk suaminya, membeli rokok untuk suami, membeli baju untuk suami. Saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil berjalan pulang ke penginapan saya. Seandainya ada regulasi yang mengatur setiap  proyek  pembangunan masyarakat layak diprogramkan jika  ada kelayakan berdasarkan  analisis  gender seperti halnya mengalisis Amdal pada setiap proyek pembangunan. Maka mungkin dampak kelebihan beban kerja pada perempuan dapat dihindari karena  mewajibkan laki-laki  harus mengambil bagian dalam bekerja.   

Masih dengan berbagai pertanyaan di benak saya, sayapun melangkah meninggalkan mereka menuju sungai Daeram. Selama dalam perjalanan, sayapun menemukan sekumpulan  perempuan-perempuan yang menggendong noken berisi hasil kebun dan menggendong anak yang masih balita. Sayapun berhenti dan sempat menanyakan mereka dari mana? dan apa yang sedang dipikul di dalam noken? Merekapun berkata kami dari kebun. Pertanyaan berlanjut, mama, dimana suami mama? sebuah jawaban yang sama, bapa ada di rumah!!! wow! untuk yang kedua kali hatiku tersentak. Hebatnya mama-mama ini, mengurus anak sambil berkebun dan sambil menokok sagu  untuk  kebutuhan makanan harian mereka. 

Saat yang hampir bersamaan, saya membuang mata saya ke arah sungai, terlihat dalam pandanganku, seorang perempuan beserta anak-anaknya sedang mendayung perjalan-lahan melawan arus sungai menuju tepian sungai, ternyata ia baru pulang memancing. Saya segera berlari karena ingin membantu menurunkan anaknya yang masih kecil ke tepian sungai. Sambil menggendong anaknya yang kecil, saya bertanya,  ibu dapat ikan kah tidak? ibu itu menjawab, hanya ikan kecil-kecil 3 ekor, mungkin karena sungai  lagi kering tidak seperti biasanya. Sudah berapa jam ibu memancing? jawabnya, Dari pagi. Saya lalu lihat jam tangan saya  ternyata hampir 4 - 5 jam ibu ini memancing bersama anaknya. Karena anaknya menangis lapar, maka mereka memutuskan untuk kembali ke rumah mereka untuk menyiapkan makanan pokok mereka, yaitu sagu bakar sinoli.

Saya mulai duduk bersama para perempuan-perempuan ini. Pertanyaan yang sama saya lontarkan kepada mereka, namun saya mendapatkan jawaban yang sama.  Pikirku dalam hati, kalau suami tidak membantu mereka,  terus apa manfaat suami bagi mereka? Apakah mereka masih membutuhkan suami? Apa pandangan mereka tentang  suami sebagai penolong?  Pertanyaan itu saya sengaja lontarkan kepada para perempuan-perempuan itu. Sebuah jawaban yang mengagetkan tetapi sangat bermakna :  bapa pamalas, tidak tahu bantu mama... kalau bapa mati juga tdk papa krn bapa hidup itu bikin beban untuk mama. Lebih baik mama hidup sendiri dari pada harus cari makan untuk mereka terus, mama cape... karena bapa pamalas dan tdk kerja apa-apa, jadi yang bapa  pikir itu cuma pikir kawin baru saja. Ternyata ada beberapa suami mereka yang memiliki istri muda di rumah dan para mama-mama atau istri-istri tua ini yang bekerja. oh my god!!!!

Sadarkah mereka bahwa mereka dieksploitasi secara tidak  sengaja oleh suami mereka?  ekploitasi tanpa bayaran. Padahal dari jawaban mereka, tersirat makna kemandirian mereka. Mereka sudah siap hidup tanpa suami karena tidak ada ketergantungan hidup pada suami mereka. Namun mengapa mereka harus hidup dalam kekuasaan laki-laki dan tidak berdaya untuk memberontak? Ternyata nilai budaya telah menkonstruksi mereka untuk hidup dalam kekuasaan laki-laki walaupun sebenarnya mereka sangat mandiri.