Juli 2013, saya pergi ke Dinas Pemberdayaan
Perempuan,
Perlindungan
Anak
dan Keluarga Berencana Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat untuk
mendapatkan data tentang kondisi kekerasan terhadap perempuan dan anak di
kabupaten Manokwari. Saya pergi ke sana
sebab dinas inilah yang paling banyak menangani kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak dan memiliki sistem pencatatan yang cukup lengkap. Saya mencoba merangkum data-data tersebut
dalam sebuah tulisan tentang bagaimana situasi kekerasan terhadap perempuan di
Kapubaten Manokwari.
Data kekerasan yang ditampilkan adalah tindak
kekerasan yang dilaporkan dan tercatat pada tahun 2011 dan 2012. Saya yakin kasus kekerasan yang tidak dilaporkan
pasti lebih banyak dibandingkan yang dicatat atau dilaporkan. Ada banyak faktor yang menyebabkan mengapa kasus-kasus kekerasan
tidak diangkat ke permukaan dan
diselesaikan melalui suatu lembaga yang berkompoten. Faktor-faktor tersebut
antara lain; intimidasi dari suami dan keluarganya terkait adanya persepsi
budaya yang menganggap aib jika masalah rumah
tangga dibawah keluar ke ranah publik atau lebih menjaga nama baik rumah
tangga dan suaminya, ketergantungan ekonomi pada suami atau laki-laki dan rasa
ketakutan terhadap laki-laki terkait pemikiran
laki-laki sebagai makluk superior dan perempuan sebagai makluk inferior,
kurang sosialisasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam rumah tangga, pengetahuan yang rendah tentang cara advokasi
korban kekerasan, hambatan lingkungan geografis, ketersediaan sarana prasarana,
dll.
Tingkat Kekerasan Terhadap Perempuan
Jumlah korban kekerasan pada tahun 2011 sebanyak 21 orang meningkat menjadi 28 orang di tahun
2012. Demikian juga jumlah pelaku kekerasan sebanyak 22 orang meningkat menjadi 32 orang pada tahun 2012. Sebagian besar
korban kekerasan adalah perempuan sedangkan pelaku kekerasan adalah
laki-laki. Laki-laki sebagai pelaku
kekerasan berkaitan dengan sifat agresivitas laki-laki serta pemahaman yang keliru terhadap perempuan sebagai makluk inferior dan
laki-laki sebagai mahluk superior sehingga
boleh menguasai perempuan dan memperlakukan perempuan semaunya.
Bentuk kekerasan yang umumnya terjadi pada
perempuan adalah kekerasan fisik
dan psikis. Perempuan sering menjadi objek kekerasan yang dilakukan
laki-laki karena faktor emosi atau sifat sang pria yang temperamental. Menurut
ahli psikologi Kasandra Putranto
(2008) "seseorang melakukan kekerasan karena adanya sebuah distribusi
kekuatan yang tak seimbang, misalnya
yang laki-laki kuat perempuan lemah".
Data
menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan lebih besar dari jumlah
pelakunya. Artinya setiap pelaku melakukan bentuk tindak kekerasan berlapis. Dengan demikian perempuan mendapat lebih dari
satu bentuk kekerasan, atau laki-laki tidak hanya melakukan kekerasan
fisik atau psikis semata namun ada indikasi laki-laki melakukan lebih dari satu bentuk kekerasan secara
bersama-sama terhadap perempuan.
Kekerasan ini merujuk pada tingkah laku yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor internal pelaku (sifat, motif, intensi) dan
oleh faktor eksternal (aspek fisik dan sosial budaya) pelaku dan bisa dipengaruhi oleh kombinasi dari keduanya.
Karekteristik
Korban Kekerasan
Sebagian
besar perempuan korban kekerasan berumur lebih dari 18 tahun atau dalam
kategori kelompok umur dewasa dan diikuti oleh umur 12 – 18 tahun dan umur kurang dari 12 tahun.
Kekerasan yang terjadi pada anak perempuan berumur kurang dari 18 tahun pada umumnya
adalah kekerasan seksual. Apabila anak perempuan mendapat kekerasan seksual maka akan
diikuti dengan kekerasan psikis yang sangat mengganggu perkembangan
mentalnya. Kekerasan seksual yang terjadi pada seorang
perempuan dikarenakan sistem tata nilai yang mendudukkan perempuan sebagai
makhluk yang lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki; perempuan masih
ditempatkan dalam posisi subordinasi dan marginalisasi yang harus dikuasai,
dieksploitasi dan diperbudak laki-laki dan juga karena perempuan masih
dipandang sebagai second class citizens.
Selain itu mengutip E. Kristi
Poerwandari (2000), perkosaan adalah tindakan pseudo-sexual, dalam arti
merupakan perilaku seksual yang tidak selalu dimotivasi dorongan seksual
sebagai motivasi primer, melainkan berhubungan dengan penguasaan dan dominasi,
agresi dan perendahan pada satu pihak (perempuan) oleh pihak lainnya (laki-laki)
misalnya dari segi usia yang masih kecil dan perempuan yang lemah.
Kekerasan
bisa menimpa siapa saja tak mengenal tingkat pendidikan. Perempuan korban
kekerasan memiliki tingkat pendidikan yang menyebar bervariasi mulai dari SD
sampai Perguruan Tinggi. Korban yang
berpendidikan SMA dan Perguruan Tinggi pada umumnya mengalami kekerasan fisik,
psikis dan ekonomi sedangkan sebagian besar korban yang berpendidikan SD dan
SMP adalah korban kekerasan seksual berupa pemerkosaan dan percabulan. Hal ini menunjukan bahwa tinggi rendahnya
pendidikan tidak menuntukan tinggi rendahnya seseorang menjadi korban
kekerasan.
Sebagian besar korban kekerasan dialami
oleh perempuan yang tidak bekerja. Hal
ini menunjukkan bahwa perempuan yang tidak bekerja
lebih berpeluang mendapat tindak kekerasan dibandingkan perempuan yang
bekerja. Penyebab kekerasan dalam rumah tangga diduga karena perempuan tidak memiliki pekerjaan,
sehingga tidak dihargai oleh suami, selain itu karena ketergantungan ekonomi pada
laki-laki sehingga suami merasa bisa menguasai, memerintah dan mengatur kehidupan istrinya. Data
lain juga menunjukan perempuan yang bekerja juga mendapat kekerasan dari
laki-laki. Hal ini lebih banyak
disebabkan faktor kecemburuan laki-laki terhadap perempuan dan didukung
oleh sifat laki-laki yang cenderung
agresif.
Hasil penelitian Purwaningsih
(2008) juga menunjukkan perempuan yang
mengalami korban kekerasan dalam rumah tangga umumnya disebabkan kurangnya komunikasi antara suami dan istri, tidak ada keharmonisan
dalam rumah tangga, kesalahan istri, ketidakmampuan suami secara ekonomi,
adanya perselingkuhan yang dilakukan suami, pengaruh minuman keras dan akibat adanya kawin paksa dari pihak keluarga.
Data
menunjukan bahwa sebagian besar korban kekerasan memiliki hubungan keluarga dengan
pelaku, yaitu sebagai keluarga korban kekerasan menempati urutan
pertama, disusul dengan pelaku sebagai pihak yang
lainnya dan diikuti dengan pelaku sebagai orang tua korban. Kekerasan yang terjadi berdasarkan hubungan
korban dengan pelaku berkaitan dengan urusan dalam rumah tangga yang
menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga. Sedangkan hubungan korban dengan lainnya dan
dengan orang tuanya memiliki bentuk kekerasan seksual dan terjadi pada anak
perempuan.