Perempuan Papua

Perempuan Papua

Jumat, 21 Februari 2014

Peran ganda perempuan Papua sebagai strategi menyelamatkan rumahtangganya dari kemiskinan!

Distrik Kuri Wamesa Kab. Wondama (Foto: Afia Tahoba)
Hubungan gender adalah hubungan sosial antara laki-laki dengan perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya serta memiliki banyak perbedaan dan kesetaraan. Sajogyo (1980) menyatakan bahwa beban kerja wanita dilihat dari curahan waktu yang diberikan pada pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan mencari nafkah lebih besar daripada curahan waktu laki-laki. Dengan demikian hubungan gender dalam rumah tangga perempuan asli Papua menunjukan terdapat kesenjangan curahan jam kerja yang besar.
Ibu harus bekerja 17,25 jam per hari sedangkan bapak hanya 5,85 jam per hari. Kesenjangan tersebut mengakibatkan terjadinya beban ganda atau beban berlebihan (double burden) yang harus ditanggung ibu setiap harinya. Terjadinya suatu beban kerja berlebihan yang ditanggung ibu dalam suatu rumah tangga menunjukan bahwa tidak adanya kesetaraan dan keadilan gender di dalam rumah tangga. Sebagaimana Bainar (1998) mengemukakan bahwa kelebihan beban kerja (double burden) terjadi sebagai akibat dari ketidak - setaraan dan ketidak - adilan gender dalam rumahtangga. Untuk itu perlu adanya perlakuan adil dalam melaksanakan kedua peran tersebut.
Disisi lain, ibu pedagang Papua menganggap bahwa pekerjaan reproduksi tidak bisa dikerjakan sepenuhnya oleh laki-laki karena hal itu melanggar adat yang berlaku dan dikatakan tidak menghargai suami. Sehingga walaupun mereka harus bekerja di luar rumah, mereka juga harus melakukan kewajiban di dalam rumah. Sehingga bagi mereka peran ganda merupakan hal yang sudah biasa dilakukan. Jika tidak demikian maka keluarga mereka akan kekurangan makan bahkan anak-anak mereka tidak bersekolah atau dengan katalain keluarga mereka bisa jatuh miskin karena tidak bisa memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ibu berperan ganda merupakan suatu strategi untuk mengatasi kemiskinan. Hal ini sesuai dengan pendapat Soetrisno (1997) bahwa pada dasarnya perempuan Indonesia dari golongan ekonomi menengah ke bawah mengatasi kemiskinannya dengan melakukan peran ganda.
Akibatnya dari peran ganda ini, ibu hampir tidak pernah memiliki waktu istirahat. ibu kurang memberi perhatian kepada anak. Sebagian besar ibu hanya memberi perhatian pada saat anak berusia kurang dari enam tahun sedangkan menurut mereka apabila anak sudah bersekolah berarti sudah bisa ditinggalkan dan dapat mengurus diri sendiri seperti makan, belajar, mandi dan lain-lain sehingga tidak perlu untuk selalu dijaga atau dibimbing. Padahal di dalam keluarga terdapat berbagai fungsi yang harus dijalankan, salah satunya adalah fungsi psikologis dimana keluarga harus dapat memenuhi kebutuhan anak (Ihromi, 1999). Kebutuhan anak pada dasarnya mencakup, (1) kebutuhan biologis yaitu anak-anak memerlukan makanan dan zat gizi untuk pertumbuhan dan perkembangannya, (2) kebutuhan psikologis yaitu anak-anak memerlukan kasih sayang, rasa senang, perhatian dan sebagainya (3) kebutuhan sosial yaitu anak-anak memerlukan hubungan dengan orang lain termasuk saudara-saudaranya, orang tuanya (Suhardjo, 1989). Sehingga apabila anak kurang diperhatikan maka kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi. Hal itu dapat berakibat pada terganggunya perkembangan fisik maupuan kesehatan mental anak.
Dengan demikian diharapkan perlu adanya kesetaraan gender dalam rumah tangga pedagang asli Papua dengan melakukan program pengembangan yang dapat membantu dan mempermudah pekerjaan perempuan dan mengurangi beban atau menurunkan jam kerja perempuan. Dan Perlu ada program peningkatan peran laki-laki khususnya peran produktif dan reproduktif atau memberikan alternatif peran baru kepada laki-laki untuk mengisi kekosongan laki-laki.

Tidak ada komentar: