Perempuan Papua

Perempuan Papua

Kamis, 27 Februari 2014

Pembangunan Infrastruktur sekolah di pedalaman yang tidak dibarengi dengan pembangunan SDM menjadikan sistem pendidikan di Papua Cacat!


Para murid sedang belajar (foto: Afia Tahoba)
Masa depan pembangunan di Papua ada di tangan anak-anak usia sekolah ini. karena mereka adalah  generasi penerus pembangunan.  11 November, 2012,   saya melakukan kunjungan ke distrik Miyah Kabupaten Tambrauw.   Untuk mencapai Distrik Miyah, saya menggunakan sebuah mobil ranger. Perjalanan ini dimulai dari Kabupaten Manokwari melewati Distrik  Warmare, Prafi,  Masni, Sidey,  Mubrani, Kebar, Senopi,  dan akhirnya  kami pun tiba di Distrik Miyah. Perjalanan itu memakan waktu 6 jam, yaitu   dari pukul  9 pagi  sampai pukul 3 sore WIT. 
Pemandangan alam  yang indah dan mengesankan tersaji di depan mata ketika saya menempuh  perjalanan itu. Saya melewati  padang rumput hijau  yang luas, melewati sungai-sungai, kemudian menaiki bukit demi bukit, gunung demi gunung dan akhirnya saya menemukan sebuah pemandangan pegunungan yang berwarna biru, itulah view pegunungan  Tambrauw dari kejauhan.  Dalam hatiku berkata: "pasti Distrik Miyah sudah dekat." Ternyata, saya harus menempuh perjalanan  kl. 1,5 jam lagi, baru  kemudian saya tiba di sebuah sungai yang bernama sungai Kamundan.  Untuk mencapai ibu kota distrik, saya harus menyeberangi sungai itu. Namun sore itu hujan cukup deras sehingga sungai itu pun banjir. Saya tak bisa melewati sungai karena kencangnya arus sungai. Saya pun memutuskan untuk bermalam di pinggiran sungai itu. 

Melawan Arus Sungai Kamundan di Distrik Miyah
Cuaca pagi itu (12/11) begitu cerah, arus air sungai mulai berkurang, tidak seperti kemarin sore.  Saya pun memutuskan untuk menyeberangi sungai itu menggunakan perahu.  Ternyata hanya tersedia satu perahu umum yang menjadi alat transportasi masyarakat, jika ingin ke kota Manokwari atau ke beberapa distrik yg semula kami lewati. Saat saya tiba di sungai itu jembatan yang dibangun oleh pemerintah belum selesai sehingga jalan satu-satunya yang harus dilewati adalah melewati sungai tersebut.  
Arus sungai itu sangat deras sehingga  saya harus menaiki perahu yang diikat pada sebuah tali, sambil memegang dan menarik  tali itu ke arah seberang sungai yg menjadi tujuan saya.  Tali tersebut diikat pada sebuah pohon yang berada di kedua tepi sungai itu. Rasa gugup menghantui saya, "bagaimana jika tali ini terlepas atau putus?" Saya melihat ke arah arus sungai itu sambil berujar: "oh Tuhan ternyata banyak batu-batu kerikil berukuran besar dan tajam".  Nyawa harus kami pertaruhkan agar dapat  melewati   sungai itu.  Ternyata sungai itu sudah pernah menelan beberapa korban jiwa  terutama dalam keadaan banjir.      
Setelah  sampai di seberang sungai, saya pun mencari kantor distrik. Saya melewati beberapa rumah-rumah masyarakat berukuran kecil dan sebuah gereja kecil (stasi).   Namun ada dua bangunan yang cukup megah dibangun sehingga tampak jelas kesenjangannya dengan rumah masyarakat dan  gereja itu.  Bangunan itu adalah kantor distrik dan SD Negeri Miyah. Sungguh, saya bangga  dan memberikan apresiasi kepada pemerintah daerah Tambrauw  yang telah membangun dua gedung  itu di daerah yg masih terisolir ini. 
Hati saya pun ingin melihat dari dekat (di dalam ruangan kelas) bagaimana proses belajar mengajar yang terjadi  di sekolah itu. Anak-anak sekolah berlarian menghampiri kami. Ada yang menggunakan seragam sekolah, ada juga yang tidak menggunakan seragam sekolah. Semua anak-anak itu  tidak menggunakan sepatu seperti selayaknya anak-anak yang bersekolah.  Saya bertanya kepada mereka: kenapa kalian tidak belajar? Mereka menjawab: "kami tidak ada guru."  Saya bertanya lagi: "siapa yang mengajari kalian?" Mereka menunjuk seorang laki-laki yang ternyata bukan seorang guru yang bertugas di sekolah tersebut melainkan seorang petugas gereja Katolik yang berada di pusat Distrik Meyah. Ia mengajar dengan suka rela, tanpa digaji sebagai bentuk tanggung jawab dan panggilannya sebagai pelayan Gereja.   Ia mengambil alih proses belajar mengajar yg seharusnya menjadi tugas pemerintah karena sudah  2 tahun anak-anak ini tidak memiliki seorang guru.  Menurutnya sekolah ini pernah memiliki guru kontrak namun semuanya tidak betah megajar  dan pulang ke kota.
Saya sangat ingat dengan pesan seorang bapak kepada saya,  katanya; "Anak, kalau anak pulang ke kota, beritahukan kepada bapak bupati bahwa kami di sini tidak ada guru,  anak-anak ini butuh guru."  Mendengar pesan itu, saya hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala saya, tetapi dalam hati saya berjanji, saya akan menulis keadaan ini dalam sebuah laporan yang diberikan kepada Pemda. Semoga mereka bisa membaca laporan itu dan tergerak untuk menyelesaikan masalah pendidikan di daerah ini. Sedih hati saya merasakan keadaan ini. Saya berharap semoga mereka ini bisa mendapat seorang guru yang setia mengajari mereka.
Gedung sekolah ini dibangun begitu megah namun tanpa fasilitas belajar mengajar (papan tulis, bangku, meja, buku, seragam sekolah, dll), bahkan tidak ada seorang pun  guru di sini. Tidak tahu kelas berapa anak-anak ini? Mereka semua digabung dalam satu kelas.
foto bersama anak-anak SD Negeri Miyah (foto: Afia Tahoba)
Hati saya hanya bisa menjerit, "mau jadi apa generasi Papua kita nantinya?" Anak-anak Papua adalah anak-anak yang pintar dari sejak lahir. Hanya tinggal diasah saja kemampuan mereka melalui akses terhadap pendidikan yg layak.  Tidak ada satu pun anak Papua yg bodoh. Jangan salahkan mereka dan berkata bahwa anak-anak Papua tidak mampu atau tidak berkualitas. Jika output pendidikan di Papua kurang baik, maka yang bertanggungjawab atas semua ini adalah pemerintah. Dimana  kinerja pemerintah kita? bagaimana caranya mereka menangani pendidikan di Papua?  Katanya dana otonomi khusus sebagian besar  dialokasikan untuk pendidikan  tetapi kenyataannya masih terdapat generasi Papua yang tetap tidak bisa belajar dengan baik karena kekurangan guru. Apakah pembangunan infrastruktur lebih utama dibandingkan pembangunan sumberdaya manusia? Ataukah membangun infrastruktur lebih banyak duitnya sehingga lebih mudah dikorupsi dibandingkan membangun SDM?  Sedih rasanya! 
Dulu, orang tua kami bisa  bersekolah dengan fasilitas yang sangat minim tetapi ada juga yang berhasil bahkan menjadi pejabat. Saya yakin para gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat juga pernah merasakan bersekolah dengan fasilitas yang minim. Artinya aspek sumber daya manusialah yang perlu dibangun dan diprioritaskan.
Situasi pendidikan di daerah ini sudah bisa menggambarkan keadaan pendidikan di beberapa daerah pedalaman di provinsi Papua dan Papua Barat. Saya berpikir tugas pemerintah untuk membangun pendidikan seharusnya didasarkan pada kerangka sistem. Bukan hanya sekolahnya saja tetapi semua unsur-unsur utama pendidikan yang menentukan keberhasilan pendidikan perlu dibangun dan diperhatikan. Satu unsur saja tidak diperhatikan maka akan menjadikan pembangunan pendidikan di Papua ini menjadi cacat.   

Tidak ada komentar: