2 April 2014, saya tiba di Kabupaten Sarmi Provinsi Papua, setelah menempuh perjalanan kurang lebih 5 jam menggunakan mobil Avansa dari Kabupaten Jayapura. Kemudian saya melanjutkan perjalanan menggunakan motor ojek melewati beberapa sungai, menuju daerah pantai Barat Sarmi. Sesampai di muara sungai Waim, saya harus meninggalkan motor ojek dan menyeberang menggunakan sebuah perahu. Setelah sampai di seberang sungai tersebut, saya kemudian menggunakan mobil ranger milik perusahaan PT BBU (Bina Balantak Utama) menuju Kampung Samorkena, Distrik Apawer Hilir. Perjalanan ini ditempuh selama kurang lebih 1,5 jam ke arah gunung atau selatan pantai Barat Sarmi. Saya menemukan pemandangan bukit demi bukit yang tak pernah kulihat sepanjang perjalanan dari ibu kota Sarmi.
Saya disambut hangat dengan senyuman para orang tua dan anak-anak yang tinggal di kampung itu. Namun ada sebuh pemandangan yang menarik perhatian saya, yakni sebuah rumah gubuk berukuran kecil. Saya bertanya: itu rumah apa? Serentak anak-anak itu menjawab: “itu sekolah dan gereja kami.” Saya tertarik ingin melihat dari dalam seperti apa sekolah mereka. Saya mencari pintu masuk sekolah tersebut, tetapi tidak ada pintunya. Ternyata sekolahnya tidak ada dinding dan tampak seperti gambar di atas ini.
Hati saya sakit melihat kondisi pendidikan di daerah pedalaman Papua seperti begini! Hanya bisa meneteskan air mata ketika melihat keadaan anak-anak ini bersekolah, bahkan terlebih lagi ketika saya mendapatkan guru mereka yang adalah seorang peng-injil, yang melayani tanpa digaji. Dia adalah seorang anak Papua, peng-injil dan guru, yang selain mengajar anak-anak bagaimana cara membaca dan berhitung, juga mengajarkan tentang bagaimana beriman kepada Tuhan. Dalam hati saya berkata “hanya guru-guru seperti beginilah yang bisa membuat pendidikan di Papua berhasil.” Pendidikan di Papua memerlukan guru-guru yang melayani dengan kasih!
Seringkali pemerintah kita kurang memberi perhatian kepada lembaga-lembaga gereja yang ada di Papua, padahal peran mereka di dalam masyarakat Papua sangat nyata. Dalam situasi seperti inilah, contohnya ketika tangan pemerintah sudah kurang panjang untuk menjangkau masyarakat dan mata pemerintah sudah kurang tajam untuk melihat masyarakat sampai ke pelosok kampung-kampung, justru di situlah terlihat peran aktif tokoh-tokoh agama yang ikut memperpanjang tangan pemerintah untuk mendidik dan membina orang Papua yang ada kampung-kampung. Sangat disayangkan jika mereka ini kurang diberi perhatian oleh pemerintah.
Saya hanya bisa bersyukur karena diijinkan Tuhan tiba dan melihat keadaan daerah ini (Distrik Apawer Kabupaten Sarmi). Hal ini memberikan pelajaran berharga bagi saya bahwa saya harus bersyukur lahir dari orang tua yang masih bisa menyekolahkan saya. Bagaimana dengan mereka? Keadaan ini membuka mata hati saya bahwa masih banyak saudara-saudara saya di pedalaman Papua yang juga jauh dari kualitas pendidikan yang memadai. Tempat ini hanyalah sebuah contoh yang bisa menggambarkan situasi pendidikan di daerah pedalaman Papua. Banyak guru dan murid sulit dan bahkan belum mendapat akses pelayanan pemerintah berupa sarana-prasarana pendidikan yang yang lebih baik.
Ingin rasanya menolong mereka namun tak ada daya. Saya hanyalah seorang pengajar yang menjadi buruh di ladang pendidikan milik pemerintah, saya bukan pengambil keputusan utama yang menentukan kebijakan pendidikan di daerah ini. Dimana implementasi kebijakan otonomi khusus yang katanya bisa memerdekakan orang Papua dari pendidikan, kesehatan dan ketertinggalan? Otsus hanyalah sebuah mimpi belaka bagi masyarakat terpencil. Kebijakan itu hanyalah ibarat pedang bermata dua yaitu di satu sisi membuat makmur para pengambil kebijakan yang akhirnya sebagian dari mereka tertangkap juga karena korupsi, di sisi lain memiskinkan masyarakat kecil. Hal ini menjadi pertanyaan tersendiri yang harus dijawab oleh kita. Apakah otonomi khusus memberi jalan keluar bagi kemajuan Papua terutama di sektor pendidikan? Kita tidak bisa membantah kalau memang Otonomi Khusus tidak memberikan hasil yang maksimal bagi kemajuan rakyat Papua.
Saya disambut hangat dengan senyuman para orang tua dan anak-anak yang tinggal di kampung itu. Namun ada sebuh pemandangan yang menarik perhatian saya, yakni sebuah rumah gubuk berukuran kecil. Saya bertanya: itu rumah apa? Serentak anak-anak itu menjawab: “itu sekolah dan gereja kami.” Saya tertarik ingin melihat dari dalam seperti apa sekolah mereka. Saya mencari pintu masuk sekolah tersebut, tetapi tidak ada pintunya. Ternyata sekolahnya tidak ada dinding dan tampak seperti gambar di atas ini.
Hati saya sakit melihat kondisi pendidikan di daerah pedalaman Papua seperti begini! Hanya bisa meneteskan air mata ketika melihat keadaan anak-anak ini bersekolah, bahkan terlebih lagi ketika saya mendapatkan guru mereka yang adalah seorang peng-injil, yang melayani tanpa digaji. Dia adalah seorang anak Papua, peng-injil dan guru, yang selain mengajar anak-anak bagaimana cara membaca dan berhitung, juga mengajarkan tentang bagaimana beriman kepada Tuhan. Dalam hati saya berkata “hanya guru-guru seperti beginilah yang bisa membuat pendidikan di Papua berhasil.” Pendidikan di Papua memerlukan guru-guru yang melayani dengan kasih!
Seringkali pemerintah kita kurang memberi perhatian kepada lembaga-lembaga gereja yang ada di Papua, padahal peran mereka di dalam masyarakat Papua sangat nyata. Dalam situasi seperti inilah, contohnya ketika tangan pemerintah sudah kurang panjang untuk menjangkau masyarakat dan mata pemerintah sudah kurang tajam untuk melihat masyarakat sampai ke pelosok kampung-kampung, justru di situlah terlihat peran aktif tokoh-tokoh agama yang ikut memperpanjang tangan pemerintah untuk mendidik dan membina orang Papua yang ada kampung-kampung. Sangat disayangkan jika mereka ini kurang diberi perhatian oleh pemerintah.
Saya hanya bisa bersyukur karena diijinkan Tuhan tiba dan melihat keadaan daerah ini (Distrik Apawer Kabupaten Sarmi). Hal ini memberikan pelajaran berharga bagi saya bahwa saya harus bersyukur lahir dari orang tua yang masih bisa menyekolahkan saya. Bagaimana dengan mereka? Keadaan ini membuka mata hati saya bahwa masih banyak saudara-saudara saya di pedalaman Papua yang juga jauh dari kualitas pendidikan yang memadai. Tempat ini hanyalah sebuah contoh yang bisa menggambarkan situasi pendidikan di daerah pedalaman Papua. Banyak guru dan murid sulit dan bahkan belum mendapat akses pelayanan pemerintah berupa sarana-prasarana pendidikan yang yang lebih baik.
Ingin rasanya menolong mereka namun tak ada daya. Saya hanyalah seorang pengajar yang menjadi buruh di ladang pendidikan milik pemerintah, saya bukan pengambil keputusan utama yang menentukan kebijakan pendidikan di daerah ini. Dimana implementasi kebijakan otonomi khusus yang katanya bisa memerdekakan orang Papua dari pendidikan, kesehatan dan ketertinggalan? Otsus hanyalah sebuah mimpi belaka bagi masyarakat terpencil. Kebijakan itu hanyalah ibarat pedang bermata dua yaitu di satu sisi membuat makmur para pengambil kebijakan yang akhirnya sebagian dari mereka tertangkap juga karena korupsi, di sisi lain memiskinkan masyarakat kecil. Hal ini menjadi pertanyaan tersendiri yang harus dijawab oleh kita. Apakah otonomi khusus memberi jalan keluar bagi kemajuan Papua terutama di sektor pendidikan? Kita tidak bisa membantah kalau memang Otonomi Khusus tidak memberikan hasil yang maksimal bagi kemajuan rakyat Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar