Sungai Digoel Saat Kemarau |
Kamis,
tanggal 28 Oktober 2015, tepat jam 11.00 WIT saya bersama teman saya terbang
menggunakan pesawat kecil twin otter dari Tanah Merah ibukota Kabupaten Boven
Digoel menuju tanah adat suku Kombai - Korowai di Distrik Yaniruma.
Hari
Sabtu, 30 Oktober 2015 saya dan teman saya dijadwalkan akan kembali ke Tanah
Merah namun Tuhan memiliki rencana yang berbeda dalam hidup saya. Pesawat tidak bisa terbang karena kabut asap
yang menutupi langit Yaniruma sehingga penerbangan ditunda 1 minggu
kemudian. Terpaksa saya dan teman saya memutuskan untuk mengikuti jalan
darat rute Distrik Yaniruma - Distrik Kombay, Distrik Bomakia - Distrik Kouh dan
kami selanjutnya menggunakan speedboad menuju Tanah Merah selama kurang
lebih 4 jam.
Perjalanan Di Hutan Yaniruma |
Siang hari
tepat jam 1 siang kami memutuskan untuk berjalan kaki sampai pada jalan rentes
yang dapat dilalui oleh motor ojek yaitu di Kampung Dema Distrik Distrik Kombai. Jarak
garis lurus di GPS kami adalah 50 Km, namun karena kami harus berjalan menghindari
sungai, rawa dan dusun sagu maka jarak yang kami tempuh diperkirakan 60
Km. Jarak yang cukup jauh bagi saya seorang perempuan yang lahir dan
besar di kota dan tidak terbiasa untuk
berjalan kaki sejauh itu.
Saya dan teman saya Samsul Bachri membawa 2 orang pemuda suku Kombai – Korowai sebagai
guide untuk mengantarkan kami berjalan menabrak lebatnya hutan suku Kombai – Korowai. Kami berjalan kaki dari jam 1 siang hingga
jam 6.30 malam barulah kami menemukan sebuah kampung yang sangat-sangat terisolir, itulah kampung “Avenda”.
Saya bersama Anak usia sekolah tapi tidak menikmati Pendidikan |
Waktu
semakin larut malam. Kami harus mencari tempat untuk berteduh. Puji Tuhan, kami
mendapatkan sebuah rumah panggung yang ditinggalkan pemiliknya ke ibukota
Distrik, sehingga kami dapat melepas lelah dan meletakkan kepala kami
sampai besok pagi.
Masyarakat
suku Kombai – Korowai ternyata sangat terbuka kepada orang baru. Mereka tahu bahwa kami lapar sehingga mereka membawakan 5 gulung sagu sinoli untuk kami. Tidak menunggu
waktu lama, kami berempatpun makan hanya dengan air putih. Kata seorang mama yang membuat sagu untuk kami, bahwa sekarang musim
kemarau panjang jadi semua sungai tempat kami mencari ikan atau udang sudah
kering. Ternyata mereka masih hidup sebagai peramu yang
mengandalkan alam untuk menyedikan bahan makanan bagi mereka. Mereka tidak
mengenal budidaya . Makanan mereka hanya
sagu, ikan atau udang dari sungai dan daging hasil buruan. Tetapi di musim kemarau ini, ketersediaan
pangan rumah tangga jadi berkurang
Makanan Pokok Sagu Sinoli |
Hal ini
saya rasakan ketika mencari bekal untuk perjalanan kami. Setiap rumah kami masuki melalui 2 anak muda yang kami bawa, hampir semua
rumah kami masuki hanya ingin membeli sagu, bahkan noken-noken sagu mereka relatif habis. Kami hanya dapat 1 buah sagu
sinoli untuk bekal saya dengan teman
saya. Saya bertanya kepada salah satu mama yang rumahnya saya masuki, bagaimana dengan persediaan makanan untuk
hari ini? Mamanya menjawab, sagu ada di dusun, mama yang biasa tokok sagu. Mama
biasa tidak tokok semua, mama tokok sedikit-sedikit untuk kita makan selama 2
atau 3 hari baru kemudian mama datang tokok sagu lagi. Saya bertanya lagi, kenapa tidak tokok semua
mama? Jawaban yang polos saya dengar
dari mulut mama itu, mama tidak bisa tokok
semua, kalau bapa bantu boleh. Karena bapa tidak bantu jadi mama tokok
sedikit-sedikit saja karena harus pikul.
Yach, benar juga kata mama, disesuaikan dengan kemampuan seorang
perempuan.
Saya bertanya lagi, pohon sagu banyak kah? Mama
menjawab, sekarang musim kemarau jadi banyak pohon sagu yang terbakar. Berarti Mama
harus berjalan kaki jauh lagi untuk mencari dusun sagu yang tidak terbakar. Sementara
dusun sagu mereka bukan dikategorikan sebagai hutan sagu tetapi hanya spot-spot
di tempat yang rendah atau pada celah-celah gunung saja dan tidak lebih dari 10
pohon per spot. Memang benar kata mama tadi,
karena sepanjang perjalanan saya, saya melihat banyak dusun sagu yang terbakar
tetapi areal yang terbakar adalah yang selalu ada aktivitas manusia atau dekat
dengan kampung. Sedangkan areal hutan tidak terbakar. Maka saya dengan teman saya simpulkan bahwa
kebakaran dusun sagu disebabkan oleh factor aktivitas manusia.
Dusun Sagu yang Terbakar |
Terlepas dari
semua itu, ternyata kelompok peramu seperti mereka inilah yang merupakan
kelompok masyarakat yang paling merasakan efek negatif dari perubahan iklim yang extrim. Atau dengan kata lain
kelompok seperti inilah yang paling rentan terhadap kerawanan pangan ketika terjadi
kekeringan yang berkepanjangan. Jumlah
ketersediaan pangan mereka semakin berkurang apalagi jumlah yang dikonsumsi, mungkin sangat terbatas. Tetapi apakah pernah kita
bertanya bahwa dari masyarakat peramu ini, manakah kelompok yang paling dirugikan
akibat perubahan iklim? Jawabannya adalah kelompok peramu yang berjenis
kelamin perempuan. Karena mereka adalah tulang punggung keluarga yang bekerja
mengurus anak sambil mencari makan maka mau dan tidak mau, mereka harus tetap eksis dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Dampak dari itu, jarak
mereka mencari makan semakin jauh, jumlah pangan yang dikonsumsi semakin
sedikit bahkan tidak memiliki gizi yang seimbang, fisik mereka pasti menurun
sehingga usia harapan hidup untuk perempuan pasti lebih rendah dibandingkan
laki-laki. Tak mengherankan jika yang saya temukan di kampung tersebut banyak anak-anak Yatim yang hidupnya bersama dengan bapaknya
dan mama tirinya karena ibunya meninggal saat melahirkan.
Kalung taring gigi anjing, dipercaya dapat mengusir roh jahat |
Memang banyak
factor yang menyebabkan kematian para perempuan di sana relative tinggi. Tetapi saya menduga factor dominannya adalah beban kerja berlebihan yang tidak disertai dengan
gizi yang seimbang, perkawinan di usia dini. Seorang ibu dalam kondisi hamil, masih menggendong anaknya
sambil berjalan mencari makan apalagi disaat musim kering. Ditambah lagi tidak ada fasilitas Pustu atau tenaga medis. Bahkan sekolahpun tidak ada. Air mata
jatuh dengan sendirinya ketika melihat perempuan-perempuan dan anak-anak yang sakit tidak tahu harus
kemana?? Mereka cuma bergantung pada
pengobatan tradisional. Mereka percaya
bahwa sakit penyakit itu disebabkan oleh roh-roh jahat sehingga di leher mereka
selalu dilingkari kalung dari gigi taring anjing yang mereka percayai dapat mengusir roh-roh jahat.
Sedih rasanya
meninggalkan mereka. Mereka sudah menderita karena ketimpangan
pembangunan yang tidak merata dan juga mereka menjadi korban perubahan
iklim yang mengancam alam mereka yang menyediakan pohon sagu, sungai sebagai lumbung pangan sehingga perubahan iklim berpengaruh pada perubahan status tahan pangan ke rawan pangan. Semoga pemerintah
Kabupaten Boven Digoel, Pemerintah
Provinsi Papua dan Pemerintah NKRI dapat melihat masalah mereka. Ini hanya satu
kasus dari kelompok terisolir/primitive yang hidupnya masih bergantung pada alam dan
memiliki beberapa nilai budaya yang sangat bias gender.
Yang jelas, kasus ini mewakili masalah banyak orang Papua yang termasuk
dalam kelompok primitive atau terisolir yang memiliki nasib yang sama dengan
mereka.
Saya Bersama Masyarakat Suku Kombai - Korowai di tengah kabut asap |
Saya hanya
bisa memohon kepada pemerintah ataupun
stakeholder pembangunan. Selamatkan mereka dari ketidak-adilan gender yang berpengaruh pada beban perempuan yang berat menyebabkan usia harapan hidup
perempuan rendah, selamatkan mereka dari ketergantungan hidup terhadap alam?
Karena alam ini semakin berubah sangat
extrim, merdekakan mereka dari pelayanan kesehatan dan pendidikan biar mereka
juga bisa keluar dari lingkaran kemiskinan yang mengikat mereka. Karena semua
orang punya hak asasi untuk hidup lebih baik lagi.
Saya
bersyukur karena ada maksud Tuhan sehingga saya bisa melihat dan merasakan kehidupan masyarakat terisolir/ primitive melalui
berjalan kaki menyusuri hutan adat suku Kombai – Korowai sejauh 60 Km. Ada
banyak hal yang saya temukan sebagai bahan masukan untuk tulisan-tulisan saya
ke depan. Karena jika kita menulis
berdasarkan pengalaman kita, itu adalah suatu metode yang tidak dapat
terbantahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar