Perempuan Papua

Perempuan Papua

Kamis, 13 Oktober 2016

PERUBAHAN IKLIM DAN PEREMPUAN-PEREMPUAN SUKU KOMBAI - KOROWAI (suatu kasus yang mewakili kelompok Terisolir di Tanah Papua)

Sungai Digoel Saat Kemarau
Kamis, tanggal 28 Oktober 2015, tepat jam 11.00 WIT saya bersama teman saya terbang menggunakan pesawat kecil twin otter dari Tanah Merah ibukota Kabupaten Boven Digoel menuju tanah adat suku Kombai - Korowai di Distrik Yaniruma.  

Hari Sabtu, 30 Oktober 2015 saya dan teman saya dijadwalkan akan kembali ke Tanah Merah namun Tuhan memiliki rencana  yang berbeda dalam hidup saya.  Pesawat tidak bisa terbang karena kabut asap yang menutupi langit Yaniruma sehingga  penerbangan ditunda 1 minggu kemudian. Terpaksa saya dan teman saya memutuskan untuk  mengikuti jalan darat rute Distrik Yaniruma - Distrik Kombay, Distrik Bomakia -  Distrik Kouh dan kami  selanjutnya menggunakan speedboad menuju Tanah Merah selama kurang lebih 4 jam. 
Perjalanan Di Hutan Yaniruma

Siang hari tepat jam 1 siang kami memutuskan untuk berjalan kaki sampai pada jalan rentes yang dapat dilalui oleh motor ojek yaitu di  Kampung Dema Distrik Distrik Kombai.  Jarak garis lurus di GPS kami adalah 50 Km, namun karena kami harus berjalan menghindari sungai, rawa dan dusun sagu  maka jarak yang kami tempuh diperkirakan 60 Km.  Jarak yang cukup jauh bagi saya seorang perempuan yang lahir dan besar  di kota dan tidak terbiasa untuk berjalan kaki sejauh itu. 

Saya dan  teman saya Samsul Bachri  membawa 2 orang pemuda suku Kombai – Korowai sebagai guide untuk mengantarkan kami  berjalan  menabrak  lebatnya hutan suku Kombai – Korowai.  Kami berjalan kaki dari jam 1 siang hingga jam 6.30 malam barulah kami menemukan sebuah kampung yang sangat-sangat  terisolir, itulah  kampung “Avenda”.  
Saya bersama Anak usia sekolah tapi tidak menikmati Pendidikan

Waktu semakin larut malam. Kami harus mencari tempat untuk berteduh. Puji Tuhan, kami mendapatkan sebuah rumah panggung yang ditinggalkan pemiliknya ke ibukota Distrik, sehingga kami  dapat  melepas lelah dan meletakkan kepala kami sampai besok pagi. 

Masyarakat suku Kombai – Korowai ternyata sangat   terbuka kepada orang baru.  Mereka tahu bahwa kami lapar sehingga  mereka membawakan  5 gulung sagu sinoli untuk kami. Tidak menunggu waktu lama, kami berempatpun makan hanya dengan air putih. Kata seorang mama yang membuat sagu untuk kami, bahwa sekarang musim kemarau panjang jadi semua sungai tempat kami mencari ikan atau udang sudah kering.  Ternyata  mereka masih hidup sebagai peramu yang mengandalkan alam untuk menyedikan bahan makanan bagi mereka. Mereka tidak mengenal budidaya .  Makanan mereka hanya sagu, ikan atau udang dari sungai dan  daging hasil buruan.  Tetapi di musim kemarau ini, ketersediaan pangan rumah tangga jadi berkurang
Makanan Pokok Sagu Sinoli

Hal ini saya rasakan ketika mencari bekal untuk perjalanan kami.  Setiap rumah kami  masuki melalui 2 anak muda yang kami bawa, hampir semua rumah kami masuki hanya ingin membeli sagu, bahkan noken-noken sagu mereka  relatif habis. Kami hanya dapat 1 buah sagu sinoli untuk bekal  saya dengan teman saya. Saya bertanya kepada salah satu mama yang rumahnya saya masuki, bagaimana dengan persediaan makanan untuk hari ini? Mamanya menjawab, sagu ada di dusun, mama yang biasa tokok sagu. Mama biasa tidak tokok semua, mama tokok sedikit-sedikit untuk kita makan selama 2 atau 3 hari baru kemudian mama datang tokok sagu lagi.  Saya bertanya lagi, kenapa tidak tokok semua mama?  Jawaban yang polos saya dengar dari mulut mama itu, mama tidak bisa tokok semua, kalau bapa bantu boleh. Karena bapa tidak bantu jadi mama tokok sedikit-sedikit saja karena harus pikul.  Yach, benar juga kata mama, disesuaikan dengan kemampuan seorang perempuan. 

Saya bertanya lagi, pohon sagu banyak kah? Mama menjawab, sekarang musim kemarau jadi banyak pohon sagu yang terbakar. Berarti Mama harus berjalan kaki jauh lagi untuk mencari dusun sagu yang tidak terbakar. Sementara dusun sagu mereka bukan dikategorikan sebagai hutan sagu tetapi hanya spot-spot di tempat yang rendah atau pada celah-celah gunung saja dan tidak lebih dari 10 pohon per spot. Memang benar kata mama tadi, karena sepanjang perjalanan saya, saya melihat banyak dusun sagu yang terbakar tetapi areal yang terbakar adalah yang selalu ada aktivitas manusia atau dekat dengan kampung. Sedangkan areal hutan tidak terbakar. Maka saya dengan teman saya simpulkan bahwa kebakaran dusun sagu disebabkan oleh factor  aktivitas manusia. 
Dusun Sagu yang Terbakar

Terlepas dari semua itu, ternyata kelompok peramu seperti mereka inilah yang merupakan kelompok masyarakat yang paling merasakan efek negatif dari perubahan  iklim yang extrim. Atau dengan kata lain kelompok seperti inilah yang paling rentan terhadap kerawanan pangan ketika terjadi kekeringan yang berkepanjangan. Jumlah ketersediaan pangan mereka semakin berkurang apalagi jumlah yang dikonsumsi, mungkin sangat terbatas. Tetapi apakah pernah kita bertanya bahwa dari masyarakat peramu ini, manakah kelompok yang paling dirugikan  akibat perubahan iklim? Jawabannya adalah kelompok peramu yang berjenis kelamin perempuan. Karena mereka adalah tulang punggung keluarga yang bekerja mengurus anak sambil mencari makan maka mau dan tidak mau, mereka   harus tetap eksis dan beradaptasi dengan  perubahan lingkungan. Dampak dari itu, jarak mereka mencari makan semakin jauh, jumlah pangan yang dikonsumsi semakin sedikit bahkan tidak memiliki gizi yang seimbang, fisik mereka pasti menurun sehingga usia harapan hidup untuk perempuan pasti lebih rendah dibandingkan laki-laki. Tak mengherankan jika yang saya temukan di kampung tersebut  banyak   anak-anak Yatim yang hidupnya bersama dengan bapaknya dan mama tirinya karena ibunya meninggal saat melahirkan. 

Kalung taring gigi anjing, dipercaya dapat mengusir roh jahat
Memang banyak factor yang menyebabkan kematian para perempuan di sana relative tinggi. Tetapi saya menduga factor dominannya adalah beban kerja berlebihan yang tidak disertai dengan gizi yang seimbang, perkawinan di usia dini. Seorang ibu dalam kondisi hamil, masih menggendong anaknya sambil berjalan mencari makan apalagi disaat musim kering. Ditambah lagi  tidak ada fasilitas Pustu atau  tenaga medis.  Bahkan sekolahpun tidak ada. Air  mata jatuh dengan sendirinya ketika melihat perempuan-perempuan  dan anak-anak yang sakit tidak tahu harus kemana??  Mereka cuma bergantung pada pengobatan tradisional.  Mereka percaya bahwa sakit penyakit itu disebabkan oleh roh-roh jahat sehingga di leher mereka selalu dilingkari kalung dari gigi taring anjing yang mereka percayai  dapat mengusir roh-roh jahat.

Sedih rasanya meninggalkan mereka.   Mereka sudah menderita karena ketimpangan pembangunan yang tidak merata  dan juga mereka menjadi korban perubahan iklim yang mengancam  alam mereka yang menyediakan pohon sagu, sungai sebagai lumbung pangan  sehingga perubahan iklim berpengaruh pada perubahan status tahan pangan ke rawan pangan. Semoga pemerintah  Kabupaten Boven Digoel, Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah NKRI dapat melihat masalah mereka. Ini hanya satu kasus dari kelompok terisolir/primitive  yang hidupnya masih bergantung pada alam dan memiliki  beberapa nilai budaya yang sangat bias gender.  Yang jelas, kasus ini mewakili masalah banyak orang Papua yang termasuk dalam kelompok primitive atau terisolir yang memiliki nasib yang sama dengan mereka.  
Saya Bersama Masyarakat Suku Kombai - Korowai di tengah kabut asap
 
Saya hanya bisa memohon kepada pemerintah ataupun stakeholder pembangunan. Selamatkan mereka dari ketidak-adilan gender yang berpengaruh pada  beban perempuan  yang berat menyebabkan usia harapan hidup perempuan rendah, selamatkan mereka dari ketergantungan hidup terhadap alam? Karena alam  ini semakin berubah sangat extrim, merdekakan mereka dari pelayanan kesehatan dan pendidikan biar mereka juga bisa keluar dari lingkaran kemiskinan yang mengikat mereka. Karena semua orang punya hak asasi untuk hidup lebih baik lagi. 

Saya bersyukur karena ada maksud Tuhan sehingga  saya bisa melihat dan merasakan kehidupan  masyarakat terisolir/ primitive melalui berjalan kaki menyusuri hutan adat suku Kombai – Korowai sejauh 60 Km. Ada banyak hal yang saya temukan sebagai bahan masukan untuk tulisan-tulisan saya ke depan.  Karena jika kita menulis berdasarkan pengalaman kita, itu adalah suatu metode yang tidak dapat terbantahkan.

Tidak ada komentar: