Pada 18 September
2013 saya bersama team tiba di kota Tanah Merah, ibu kota Kabupaten Boven
Digoel, setelah menempuh perjalanan dari Merauke kurang lebih 9 jam. Tidak
terbayangkan dalam pikiran saya bahwa akhirnya saya bisa sampai di tempat
pembuangan (penjara) wakil presiden pertama, M. Hatta yang saya tahu
dalam pelajaran sejarah waktu masih belajar di SMP.
Selama seminggu
kami menggunakan mobil hartop mengunjungi beberapa distrik yang menjadi
daerah pengamatan kami, mulai dari Tanah Merah, menuju distrik Arimob,
Iniyandit, Mindiptana, Waropko dan Kombut. Sesudah itu kami melanjutkan
perjalanan melalui Distrik Sesnuk menuju tiga distrik yang berada di
pinggiran sungai digoel yaitu distrik Jair (kampung Getentiri), Subur dan
Ujungkia. Karena waktu telah larut malam maka kamipun beristirahat di
sebuah penginapan di Jair untuk mempersiapkan diri karena besok pagi kami
harus berangkat ke Distrik Ujungkia dan singgah di distrik Subur menggunakan
sebuah speed boad melewati sungai digoel.
Cuaca pagi itu begitu
mendukung. Jam tangan saya menunjukkan pukul 07.00 WIT. Matahari pagi
bersinar berkilauan di atas air sungai Digoel yang telihat begitu jernih tetapi
menyilaukan mata. Kamipun menuju distrik Ujungkia melewati beberapa tikungan
dinding sungai, melewati sebuah pulau yaitu pulau Terek dan berputar haluan ke
kanan memasuki muara sungai Kia. Perjalan sampai ke muara memakan waktu 2
jam tepat pada jam 09.00 WIT.
Kami mulai
memasuki muara Kia yang lebarnya hanya berkisar 10 - 25 meter, di
pinggiran sungai dipenuhi oleh pohon nipah serta warna air yang keruh sehingga
kami tak bisa melihat benda apapun di dasar sungai tersebut. Sesekali speed
baod kami seakan mau terbalik karena menabrak dahan pohon yang tenggelam di
dasar sungai itu. Hal itu membuat hati saya sedikit goyah dan ada
teriakan kecil memanggil “Tuhan Tolong!” Anehnya lagi ekspresi kegugupan
saya ditertawai oleh motoris yang membawa kami ke sana. Dalam hati saya
berkata “ Pace ko biasa saja ka! Mentang-mentang berpengalaman jadi tertawa
terus, tra lama ikan lompat masuk ke ko pu dalam mulut baru ko tau”
Dalam perjalanan
itu, saya mulai menemukan beberapa perahu tidak bersemang, yang diisi oleh 2 –
4 orang dengan memegang perlengkapan sederhana seperti jaring dan nelon.
Semakin kami berjalan maju semakin banyak perahu yang kami temukan. Rupanya
sungai Kia ini adalah satu-satunya sungai yang menyediakan sumber
protein berupa ikan, kepiting dan udang bagi masyarakat suku Awuyu yang
tinggal di kampung-kampung pesisir sungai itu dan kebetulan waktu yang
kami lalui adalah waktu-waktu yang biasanya mereka gunakan untuk mencari ikan.
Dalam hati saya
bertanya; mengapa yang saya temui paling banyak (80%) adalah para
perempuan dan anak-anaknya? Dalam satu perahu bisa diisi oleh tiga
anak dan satu orang ibu. Pertanyaan itu saya simpan dalam hati karena
kami harus melewati mereka ke distrik yang menjadi tujuan kedatangan kami.
Sesekali kami melewati beberapa kampung yang kondisi rumahnya sangat
memprihatinkan dan anak-anak melambai-lambaikan tangan dengan senyuman polos
kepada kami. Hal itu sudah biasa mereka lakukan ketika melihat orang berwajah
baru melewati sungai tersebut. Kebanyakan dari mereka berbadan telanjang, ada
juga yang hanya menggunakan celana dan ada juga dari mereka yang memiliki perut
buncit, tidak seimbang dengan badannya. Sayapun melambaikan tangan saya
kepada mereka dengan mata berkaca-kaca. Oh Tuhan sungguh sedih melihat
mereka!
Jam 10.00 WIT, kami
tiba di Ujungkia untuk berdiskusi dengan masyarakat di balai desa. Semua peserta
yang datang adalah laki-laki. Rupanya, istri-istri dan anak-anak mereka yang
saya temukan sedang mencari ikan di sungai ketika dalam perjalanan tadi .
Pukul 2 siang saya
kembali melalui sungai tersebut. Tak terbayangkan di benak saya bahwa saya akan
menemukan perempuan dan anak-anak yang tadi jam 9 saya ketemu. Pikiran saya
mengatakan pasti mereka sudah pulang dengan hasil tangkapannya dan menyiapkan
makanan bagi keluarganya. Kenyataannya sangat berbeda, saya kembali
bertemu dengan mereka di selang waktu jam 2 - 3 siang. Oh Tuhan,
apakah ibu dan anak-anak ini sudah makan? Jam begini harusnya mereka sudah
makan siang. Apakah mereka belum mendapatkan ikan? Berbagai
pertanyaan timbul di benak saya.
Saya lalu meminta
motoris untuk berhenti. Saya memanggil mereka mendekat ke speed boad.
Para ibu mendayungkan perahu begitu cepat ke
arah kami dengan wajah penuh senyum. Sekitar 6 perahu mendekat
mengelilingi speed boad kami. Saya begitu terkejut karena melihat bayi
berusia 4 bulan dan 11 bulan di dalam perahu-perahu itu. Saya lalu
mendokumentasikan bayi-bayi dari suku Awuyu tersebut bersama ibu dan
saudara-saudaranya serta membagi-bagi makanan ringan dan recehan rupiah kepada
meraka.
Begitu sedih hati
saya melihat mereka belum makan siang. Saya lalu bertanya
kepada mereka; apakah ada yang sudah mendapatkan ikan? Hanya 1
perahu yang mendapat ikan kerapuh berukuran sedang selebar telapak tangan saya.
Pemancing yang lainnya cuma mendapat udang dan ikan kecil yang jumlahnya tidak
lebih dari lima. Ternyata kearifan lokal untuk menangkap ikan berukuran besar
itu ada pada laki-laki meraka. Ketika laki-laki sudah tidak lagi mencari ikan,
maka perempuan harus beradaptasi dengan kemampuannya menangkap ikan sambil
menjaga anak-anak di atas perahu. Bagaimana mereka bisa leluasa menangkap
ikan dengan bebas seperti laki-laki? Para perempuan ini hanya bisa duduk
berjam-jam di atas perahu dan berharap pada mata kaelnya. Semoga ada mujizat
dari Tuhan atas mata kaelnya. Dalam pikiranku; bagaimana mereka dapat
bergerak dengan leluasa seperti cara laki-laki mereka menangkap ikan?
Ketika mereka bergerak pasti perahu itu akan terbalik bersama anak-anak. Hal
ini menunjukkan bagaimana perubahan peran laki-laki ke ranah publik di luar
rumah berdampak pada marjinalisasi perempuan dan anak-anak.
Terlihat sangat
jelas bagaimana pembagian peran gender yang tidak seimbang antara laki-laki dan
perempuan. Laki-laki banyak berurusan dengan masalah publik sedangkan perempuan
melakukan kegiatan domestik memelihara anak. Tetapi bagaimana dengan urusan
makan-minum anak-anak jika laki-laki kebanyakan berurusan dengan masalah
publik di luar rumahnya. Siapa yang menjaga anak-anak itu? Siapa yang mencari
makan untuk mereka? Ternyata perempuan-perempuan ini membawa
anak-anaknya di perahu sambil mencari ikan karena tidak ada yang mencari
makanan dan menjaga anak-anaknya itu. Tidak mungkin ibunya
membiarkan mereka sendirian dan kelaparan. Menjaga anak di atas perahu
sambil mencari ikan adalah strategi perempuan Awuyu dalam beradaptasi dengan
perubahan peran laki-laki yang lebih banyak di luar rumah.
Sungguh,
mereka adalah perempuan-perempuan perkasa! Asupan gizi anak-anak ini ada di tangan ibunya.
Kualitasnya secara Intelegensi ada di tangan ibunya juga. Tetapi tidak disadari
bahwa dampaknya adalah ibu tersebut mengalami kelebihan beban kerja, yang bisa
saja mempengaruhi usia harapan hidup yang rendah dibandingkan laki-laki.
Sebuah perjuangan
hidup, bagaimana perempuan-perempuan Awuyu mempertaruhkan hidupnya hanya untuk
mempertahankan eksistensi keluarganya. Perjuangan ini membuat
perempuan-perempuan suku Awuyu ini sangat layak disebut pahlawan
rumahtangga tanpa tanda jasa. Mereka berjuang tanpa memikirkan status
kesehatan dirinya demi suami dan anak-anaknya.
Persoalan besar
yang harus ditanggung para stakeholders pembangunan, lebih khusus
pemerintah, adalah bagaimana memberdayakan mereka dan tidak membuat program
yang bias gender, hanya melibatkan laki-laki saja. Dalam kasus
seperti ini (yang banyak terjadi di daerah pedalaman Papua) semakin banyak
laki-laki dilibatkan dalam program-program pembangunan di ranah publik, maka
perannya sebagai pencari nafkah utama (kegiatan berladang dan menangkap
ikan) digantikan oleh perempuan.
Pemerintah harus
mendesain program yang responsif gender sehingga tidak merugikan kaum
perempuan. Namun yang menjadi kendalanya adalah banyak
perencana-perencana pembangunan yang blinded gender, sehingga belum
mampu menyusun program-program berbasis gender yang berlandaskan
kesetaraan laki-laki dan perempuan dari segi akses, peran atau partisipasi,
kontrol atau pengambilan keputusan dan manfaat yang sama. Jika mereka
berdaya secara pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan maka tidak mungkin
mereka memilih pekerjaan yang membebankan mereka. Satu hal yang perlu
diingat bahwa “Kualitas hidup perempuan Papua akan menentukan kualitas
generasi Papua di masa depan. Artinya kualitas hidup yang baik pada
perempuan Papua akan menentukan suksesnya pembangunan di Papua”. Oleh karena
itu upaya pemberdayaan perempuan Papua harus diprioritaskan.