Saya merasa beruntung dapat mengikuti Forum Nasional ke V Jaringan Kebijakan
Kesehatan Indonesia yang diselenggarakan oleh Universitas Padjadjaran selama 2 hari pada tanggal 24 dan 25 September 2014 di Trans Luxury Hotel Bandung. Fornas ini diikuti oleh 7 kelompok kerja kebijakan kesehatan.
Salah satu di antanya adalah Kelompok Kerja Kebijakan HIV dan AIDS dimana saya menjadi salah satu pesertanya. Kelompok kerja kebijakan HIV dan AIDS ini
dihadiri oleh para pemangku kepentingan seperti pelaku, perumus, peneliti,
pemerhati dan akademisi di bidang kebijakan HIV dan AIDS. Salah satu tujuan pertemuan ini adalah
menyajikan hasil penelitian terkait dengan upaya penanggulangan AIDS dan sistem
kesehatan dengan issue penting yang
dibahas adalah Tata Kelola Program Penanggulangan HIV dan AIDS. Ada 7 makalah
yang di presentasikan terkait membahas
Tata kelola program penanggulangan HIV dan AIDS yang baik.
Melalui seminar ini telah menunjukkan bahwa sejauh ini, tata kelola program
penanggulangan HIV dan AIDS belum sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip tata
kelola yang baik. Misalnya prinsip transparansi, kesetaraan dan pengawasan,
efisiensi dan efektifitas serta penegakan hukum. Hasil riset Asa
Simplexius menunjukkan lemahnya sosialisasi Perda tentang HIV dan AIDS
menjadi penyebab ketidak-efektifan suatu perda HIV dan AIDS. Masyarakat seharusnya
dilibatkan dalam sosialisasi pra legislasi yaitu sejak suatu PERDA dirancang, sosialisasi legislasi
atau pasca legislasi yaitu sosialisasi content dan stucture materi, serta
sosialisasi kontinuum/ reguler dimana sosialisasi secara kontinyu dan berlanjut
sampai pada efek culture of low yaitu menghasilkan perilaku baru yang membudaya
sehingga menciptakan ketaatan yang sukarela dan kontiunum terhadap suatu
perda. Susanthi Esthi juga
mempertegaskan bahwa program penanggulangan HIV dan AIDS pada populasi kunci
lebih bersifat temporal/ proyek sehingga yang dicapai hanya perubahan
pengetahuan tanpa mengejar perubahan perilaku. Akibatnya menciptakan suatu
kondisi ketergantungan terhadap program atau menghasilkan efek sesaat dalam
merespon suatu program penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh karena itu sosialisasi
pencegahan HIV dan AIDS seharusnya dimulai pada usia dini atau sekolah dengan
tujuan membentuk mental dan karakter serta perilaku aman untuk dapat melindungi
diri dari HIV dan AIDS. Hasil riset Sewdas Ranu, dkk, menyatakan bahwa
keterlibatan peran publik begitu penting
dalam mendukung penanggulangan HIV dan
AIDS. Selama ini publik kurang dilibatkan dalam upaya penanggulangan HIV dan
AIDS khususnya dalam sistem perencanaan daerah, misalnya LSM, akademisi,
konsultan dan organisasi profesional
tidak dilibatkan dalam Musrembang sehingga perencanaan kurang berbasis
data dan fakta.
Riset yang dilakukan Siregar Y.M.
Adiatma menunjukkan prinsip tata kelola efiensi dan efektifitas perlu diperhatikan
dalam penganggulangan HIV dan AIDS dengan memberikan sosialisasi yang kuat
kepada ODHA dan penyelenggara
penanggulangan HIV dan AIDS. Menurutnya sebelum
pemberian ART, biaya pengobatan ODHA didominasi oleh biaya tes laboratorium (>65%), dan setelah
inisiasi ART, oleh obat antiretroviral (≥60%). Biaya rata-rata per
pasien menurun seiring dengan berjalannya perawatan. Tingkat CD4 Cell counts
yang lebih tinggi saat dimulainya perawatan diasosiasikan dengan biaya tes
laboratorium dan perawatan infkesi oportunistik yang lebih rendah. Biaya
transportasi mendominasi biaya pasien dalam mengakses layanan HIV
(>40%). Hal ini berarti dengan mengkonsumsi
ATR, seorang ODHA akan mampu menekan biaya infeksi oportunistik dan biaya
pasiens dalam mendapatkan layanan dan hanya mengeluarkan biaya transportasi.
Untuk itu, akses terhadap ART harus lebih dekat dengan masyarakat sehingga dapat
menekan biaya transportasi. Kurniawan Rachmadi menyakatan bahwa Peran ARV sekarang ini sangat penting,
terbukti bermanfaat. Namun tidak semua ‘gold
standart’ sebuah pedoman pengobatan dapat lansung diterapkan. Menurutnya efek samping sebuah kebijakan dapat terjadi.
Oleh karena itu perlu kehati-hatian dalam menyusun dan menerapkan kebijakan
obat ARV dan perlu komunikasi yang transparansi yang
baik tentang efeksamping
suatu kebijakan antar stakeholder.
Riset Riziyani Shanti, dkk menyoroti
posisi KPAD yang dianalogikan sebagai anak tiri. Walaupun ketua KPA provinsi adalah gubernur,
namun KPA Provinsi bukanlah bagian dari struktur organisasi pemerintah daerah.
Sebagai Anak tiri, KPA provinsi merasa sulit ketika harus mengkoordinir SKPD
yang merupakan bagian dari organisasi pemerintah daerah (dianalogikan sebagai
anak kandung) untuk penanggulangan AIDS di daerah. Penelitian ini menunjukkan bahwa posisi KPAD
masih problematis dan penanggulangan AIDS di daerah masih sangat bergantung
pada peran pimpinan tiap SKPD yang menjadi anggota KPA. Dengan demikian Penguatan posisi KPA perlu
dilakukan untuk lebih mendukung tata kelola penanggulangan AIDS yang efektif.
Hasi Riset Okta Siradj tahun 2013 telah menyeroti pelaksanaan prinsip tata kelola penganggulangan HIV dan
AIDS tentang Penegakan hukum. Secara global, eksistensi Kriminalisasi
penularan HIV diakui memberi disinsentif pada strategi penanggulangan
AIDS. Faktanya, studi terhadap 18
Undang-Undang dan 4 Peraturan Daerah menunjukkan adanya kriminalisasi terkait
penularan HIV di Indonesia, disamping adanya pasal penganiayaan dalam kitab
undang-undang hukum pidana yang representatif terhadap penularan HIV. Sebagai hukum
positif, kriminalisasi memiki keniscayaan konsekuensi pembuktian. Tanpa forensik
HIV, pengadilan tidak dapat membuktikan bahwa penularan terjadi dari terdakwa kepada
korban. Namun, forensik HIV seperti pemanfaatan phylogenetic analysis memerlukan
standar yang ekstensif agar memiliki kualifikasi pembuktian di pengadilan. Pemangku kepentingan kebijakan AIDS nasional
perlu mempertimbangkan inklusi forensik HIV dalam regulasi dan anggaran dalam
mengantisipasi penerapan pasal pidana atas penularan HIV. Penguatan kelembagaan
eksekutif di tingkat penyidikan maupun yudiktif di tingkat pengadilan terkait
forensik HIV perlu dilakukan secara nasional. Lembaga yudikatif melalui hakim
pidana dengan sistem pembuktian negatif perlu dikawal oleh masyarakat sipil.
Pemantauan keberhasilan forensik HIV merupakan modal advokasi dekriminalisasi
dalam kebijakan penanggulangan AIDS nasional.
Penerapan prinsip tata kelola penanggulangan HIV dan AIDS yang baik akan
menjamin keberhasilan penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat daerah dan nasional. Namun berdasarkan seminar ini telah menjawab
berbagai persoalan yang dihadapi dalam pelaksanaan tata kelola penanggulangan
HIV dan AIDS yang baik. Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota implementasi
prinsip ini pada kenyataannya masih bervariasi. Tata kelola program penanggulangan
HIV dan AIDS belum sepenuhnya menggunakan prinsip-prinsip tata kelola yang
baik. Berbagai upaya dan peran kepemimpinan nasional, sektor, daerah, lembaga, kelompok-kelompok
masyarakat baik di tingkat pembuat kebijakan sampai ke tingkat pelaksana masih sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya
prinsip tata kelola upaya penanggulangan HIV dan AIDS pada semua tingkatan.